Dalam satu dekade terakhir, ibu kota Vietnam ini mengalami transformasi budaya sekaligus paradigma berpikir dalam menghadapi dinamika zaman yang dipicu derasnya arus investasi asing.
Pendamping perjalanan selama penyelenggaraan "Jotun Colorful Journey 2015" di Hanoi, Tony, menuturkan, bila satu dekade silam, kehidupan agraris masih mendominasi kota ini, sekarang justru jasa, perdagangan, dan industri yang biasa dianggap sebagai simbol modernitas, menjadi nafas kehidupan.
Konversi intensif lahan persawahan atau ladang tadah hujan menjadi lahan beton sudah hal lumrah yang bisa ditemui di Hanoi, dan kawasan-kawasan pinggiran di sekitarnya.
"Orang dulu menanam padi di sawah, sekarang justru menanam beton. Banyak pabrik, apartemen, hotel, rumah mewah, dan pusat belanja," ujar Tony, Selasa (19/5/2015), seraya menunjuk sebuah proyek pusat belanja berukuran raksasa yang dikebut investor asal Jepang, AEON Group.
Padahal, sepuluh tahun lalu, orang-orang di sini masih pipis di tempat-tempat terbuka. Namun, kata Tony, hal itu tidak lagi mereka lakukan karena rasa malu. Malu oleh para migran urban, maupun orang asing.
Selain itu, tempat mereka buang air pun sudah disulap menjadi karya arsitektur perkotaan yang sedap dipandang mata, yakni mozaik keramik yang diklaim terpanjang di dunia. Mozaik ini diperkirakan sepanjang 6 kilometer.
Demikianlah, ketika sebuah transformasi menemukan bentuknya yang sejati, kota di sebuah negara Republik Sosialis pun mampu berproses ke arah kemajuan.
Dalam istilah Principal dan Senior Architect Design Director Urbane Indonesia, Irvan P Darwis, Hanoi itu ibarat kota yang baru bersolek demi menarik minat investasi, baik domestik, maupun asing sehingga menjadi kekuatan baru di kawasan regional Asia Tenggara.
"Hanoi berkiblat pada Shanghai atau Beijing secara khusus dan Tiongkok secara umum. Mereka yang menyelenggarakan Olimpiade pada 2008 lalu menebarkan kesuksesannya ke negara tetangga terdekat," tutur Irvan.
Dan Hanoi atau Vietnam, kata Irvan, kebagian kisah sukses itu. Negara ini mampu menjungkirbalikkan perkiraan banyak orang tak sampai sepuluh tahun. Kondisi infrastruktur terutama jalan utama, jalan tol, maupun jalan lingkungan mulus tak bercacat, tak berlubang, atau tak menggelembung, tanda dikerjakan dengan serius dan berkualitas tinggi.
"Selain mulus-mulus, jalannya juga lebar-lebar. Nyaman untuk dilewati berbagai jenis kendaraan," imbuh Irvan.
Merawat peradaban
Selain sarat dengan berbagai proyek properti modern, Hanoi juga mampu merawat sejarah perjalanan panjangnya. Sejarah kota yang membentuk Hanoi aktual adalah peradaban yang dirawat secara turun temurun.
Kendati tak jauh berbeda dengan Jakarta, terutama dari semrawutnya perilaku para pengendara, namun Hanoi adalah kota yang laik dicinta.
Tak hanya itu, terdapat juga penginapan-penginapan berbagai kelas mulai dari hostel untuk para backpacker hingga bintang lima berlian dengan tarif 10 dollar AS hingga 400 dollar AS.
Satu hal yang menarik, kesan homogen Hanoi hilang ketika mata bersirobok dengan sebuah bangunan khas yakni Masjid Al Noor yang juga berada di kawasan Old Quarter. Ini menjadi sebuah penegasan, bahwa Hanoi tempat yang tepat untuk kita kembali.