Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masa Depan Indonesia Ada di Batam

Kompas.com - 27/04/2015, 11:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

BATAM, KOMPAS.com - "Batam adalah batu permata yang belum digosok. Kawasan ini adalah juga masa depan Indonesia yang kurang eskposure dan sedikit terlupakan. Padahal posisinya sangat strategis dengan demografi potensial". 

Direktur Marketing Agung Podomoro Group, Indra W Antono, mendeskripsikan Batam dengan segala potensinya dan perkembangan aktual kepada Kompas.com, Senin (27/4/2015). 

Kondisi infrastruktur Batam, kata Indra, paling baik se-Indonesia. Jalan-jalan protokol, jalan lingkungan, taman, drainase, dan utilitas dirancang sesuai standard internasional. Kota ini memiliki infrastruktur dasar bandara internasional, pelabuhan laut internasional yang beroperasi 24 jam, dan juga sumber daya yang memikat para investor.

"Hanya, eksposure Batam sangat kurang. Tidak ada kampanye besar mengapa harus investasi di Batam. Kalah dengan kampanye Johor Bahru atau bahkan kota-kota lainnya di Asia Tenggara. Kalau saja Batam mendapat perlakuan khusus dipublikasikan secara internasional, posisinya mungkin semakin vital," tutur Indra.

Selain eksposure, kekurangan lainnya adalah kewenangan antara Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), dan Pemerintah Kota (Pemkot Batam) yang seharusnya bisa lebih dipertegas dan diperjelas lagi.

Ketua DPD REI Djaja Roeslim, mengungkapkan Batam masih tersandera tumpang tindih perizinan. Fatwa planologi serta hak pengelolaan lahan (HPL) merupakan domain BP Batam. Sementara analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), dan izin mendirikan bangunan (IMB) merupakan ranah Pemkot Batam. 

"Itulah kelemahan yang sampai saat ini mengganggu akselerasi pembangunan properti di Batam. Belum lagi proses perizinan yang lama dan memakan waktu nyaris satu tahun dengan ongkos tinggi yang bisa mencapai 10 persen dari total nilai proyek," ungkap Djaja. 

Selain masalah tumpang tindih kewenangan, Djaja melanjutkan, Batam juga terkendala regulasi kepemilikan asing yang belum pasti. Saat ini asing hanya boleh membeli dan memiliki properti melalui skema home ownership program (HOP) yang dikeluarkan perusahaan tempat mereka bekerja. Namun, asing yang membeli rumah di bawah tangan lebih banyak lagi.

"Mereka bisa membeli properti dengan cara menikahi wanita lokal, atau meminjam identitas orang lokal untuk kepentingan administrasi. Ini kan merugikan. Coba kalau dilegalkan melalui peraturan kepemilikan asing, pendapatan asli daerah (PAD) akan meningkat signifikan," tandas Djaja.

Kelemahan lainnya adalah aturan BP Batam dan Pemkot Batam yang sering berubah. Tidak adanya kepastian ini membuat banyak investasi dianulir dan dialihkan ke tempat lain. "Padahal investor butuh kepastian aturan. Karena kami telah menghitung rencana ekspansi dan realisasi membangun," imbuh Djaja.

Kelemahan ketiga dan tak kalah krusial adalah persediaan air yang terbatas hingga lima tahun ke depan serta pasokan listrik. Untunya, BP Batam sudah menyiapkan persediaan air dan pasokan listrik. Kendati demikian Batam membutuhkan utilitas melalui pengembangan power plant dan reservoir tambahan.

Geliat properti

Jika kelemahan tersebut di atas dapat diperbaiki, imbuh Djaja, bukan tidak mungkin Batam akan menjadi destinasi utama investasi sektor properti di Asia Tenggara, mengungguli Hanoi, Manila, Bangkok, atau bahkan Jakarta.

"Batam hanya 40 menit perjalanan laut ke Singapura. Harga lahan dan propertinya juga masih jauh lebih kompetitif. Ini seharusnya menjadi daya tarik utama kota ini," tandas Djaja.

Terlebih pertumbuhan populasi akibat urbanisasi dengan kalangan usia produktif yang dominan telah membentuk pasar Batam menjadi kian dinamis. Kebutuhan hunian tumbuh signifikan sekitar 20 persen hingga 30 persen per tahun.

"Mereka memiliki kemampuan beli yang terus meningkat. Jika dulu selama kurun 2010, rumah Rp 3 miliar sulit dijual karena masih masuk kategori mewah, kini laku bak kacang goreng. Karena rumah mewah harganya sudah melambung sekitar Rp 6 miliar-Rp 8 miliar. Sedangkan rumah seharga Rp 3 miliar jadi rumah menengah," urai Djaja.

Fenomena tersebut kemudian menstimulasi pengembang sekaliber Ciputra Group dan Agung Podomoro Group menggarap hunian terpadu sejak 2013 lalu. Nama pertama memulainya dengan mengembangkan CitraLand Megah Batam, berkolaborasi dengan Artha Megah Group.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau