Sesama negeri jiran, Indonesia, Malaysia, dan Thailand kini tengah berlomba menjadi yang terdepan dalam pembangunan pencakar langit.
Statistik Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH) menampilkan komparasi aktivitas pembangunan gedung jangkung di ketiga negara tersebut. Komparasi dilakukan atas jumlah gedung yang dikembangkan, populasi gedung yang rampung pembangunannya (completion), dan ketinggian.
Kompetisi pencakar langit, sejatinya mulai berlangsung sejak 1996. Saat itu, praktis, Indonesia, Malaysia, dan Thailand terlibat dalam rivalitas pembangunan gedung-gedung komersial dengan fungsi sebagai hunian, perkantoran, dan juga hotel.
Tahun 1996, Thailand sebagai salah satu macan Asia mampu mengungguli Indonesia dan Malaysia. Negeri Gajah Putih ini bisa membangun lima pencakar langit dengan ketinggian bervariasi serentang 165 meter hingga 221 meter. Kelima gedung jangkung tersebut adalah RS Tower, Tipco Tower, Abdulrahim Place, Thai Wah Tower II, dan Jewelry Trade Center.
Sementara Indonesia, meski kalah dalam populasi gedung, namun sanggup membangun Amartapura I setinggi 163 meter dan BNI Tower atau Wisma 46 yang menjulang 262 meter. BNI Tower ini sekaligus didapuk sebagai pencakar langit tertinggi ketiga di Asia Tenggara pada saat itu, setelah United Overseas Bank Plaza One, setinggi 280 meter, dan Overseas Union Center (278). Kedua gedung ini berada di Singapura.
Sedangkan Malaysia, pada tahun 1996 masih dianggap "anak bawang" karena hanya bisa mendirikan satu pencakar langit yakni Menara TA One dengan ketinggian 151 meter.
Namun, keadaan berbalik, saat Thailand membuktikan diri sebagai Macan Asia sejati. Tahun 1997, Baiyoke Tower II menjungkalkan rekor United Overseas Bank Plaza One. Baiyoke Tower II mengangkasa 304 meter (supertall) dansukses menjadi ikon negara sekaligus terjangkung di Asia Tenggara.
Tak hanya satu pencakar langit yang dikembangkan Thailand, juga dua lainnya yakni Italthai Tower setinggi 163 meter dan Jasmine International Tower dengan ketinggian 206 meter.
Medio tersebut Indonesia cuma memperkaya kaki langit Jakarta dengan dua menara InterContinental atau MidPlaza sejangkung 155 meter dan Menara Kadin 169 meter. Sementara Malaysia, vakum merampungkan gedung.
Rivalitas kian sengit setahun berikutnya. Pada kurun waktu itu, saat krisis multidimensi melanda sebagian negara Asia Tenggara, Malaysia justru sukses membangun reputasi di kancah pencakar langit dunia dengan Petronas Tower. Menara kembar ini merupakan supertall pertama Malaysia yang mengangkasa 452 meter.
Pada saat yang sama, Indonesia hanya mampu membangun apartemen Taman Anggrek 151 meter. Berbeda dengan Thailand yang sempat membangun tiga gedung dengan ketinggian 151 meter-167 meter.
Kini, lebih dari satu dekade berlalu, ketiga negara tersebut terus berpacu merealisasikan ambisi membangun ikon-ikon negara yang sekaligus dianggap sebagai representasi tempat yang tepat untuk investasi.
Dalam statistik CTBUH Indonesia punya 65 pencakar langit dengan ketinggian 150 meter ke atas. Sebelas di antaranya masih dalam tahap pembangunan, dengan dua gedung sudah tutup atap. Termasuk di antara sebelas gedung itu adalah supertall Cemindo Tower yang mendongak 304 lantai.
Sedangkan Malaysia mengoleksi 62 gedung dengan ketinggian 150 meter ke atas. Tiga belas gedung di antaranya dalam tahap konstruksi dengan satu gedung mencapai tahap tutup atap yakni Ilham Baru Tower setinggi 298 meter.
Thailand cukup puas dengan memiliki 60 gedung di atas 150 meter, dengan satu gedung dalam tahap pembangunan yakni M Silom setinggi 198 meter.
Menurut Editor CTBUH, Daniel Safarik, jika dilihat dari ketinggian gedung dengan kategori supertall eksisting, Malaysia unggul sebanyak tiga gedung yakni si kembar Petronas Tower dan Menara Telekom. Disusul Thailand dengan satu gedung Baiyoke Tower II.
"Ada pun supertall yang masih dalam tahap konstruksi, Indonesia berada di urutan atas dengan tiga gedung, Malaysia dua gedung, dan Thailand satu gedung," ungkap Daniel dalam penjelasannya melalui surel yang dikirim kepada Kompas.com, Jumat (19/12/2014).
Daniel melanjutkan, dengan statistik demikian, dapat disimpulkan bahwa pasar Indonesia lebih dinamis dan tumbuh sehingga memungkinkan dibangunnya pencakar-pencakar langit baru. Berbeda kondisinya dengan pasar Thailand yang saat ini justru lebih lambat dibanding Indonesia, dan Malaysia.
"Proposed project"
Selain gedung eksisting dan dalam tahap konstruksi, CTBUH juga mencatat proyek-proyek proposal di ketiga negara ini. Malaysia tampil sebagai negara dengan proyek proposal terbanyak yakni lima proyek.
Indonesia mengekor di tempat kedua dengan empat proyek. Dua di antaranya megatall (ketinggian di atas 500 meter)yakni Signature Tower Jakarta setinggi 638 meter dan Pertamina Energy Tower (523 meter). Dua lainnya merupakan supertall yakni Peruri 88 (389 meter), dan Arthaloka Square (360 meter).
Managing Director Pandega Desain Weharima (PDW) Architects, Prasetyoadi, mengungkapkan, progres Signature Tower Jakarta, masih terus berlanjut hingga saat ini. Tidak ada sinyalemen ditunda, batal, atau diurungkan sebagaimana rumor yang berkembang selama ini.
"Signature Tower Jakarta sudah memenuhi persyaratan Tim Penilai Arsitektur Kota (TPAK) untuk arsitekturnya. Saat ini hasil TPAK sedang di-review oleh Dinas Perhubungan untuk traffic udara dan juga Dinas Pemadam Kebakaran," ujar Prasetyoadi, kepada Kompas.com, Sabtu (3/1/2015).
Dia mengakui, realisasi pembangunan Signature Tower Jakarta memang terlambat. Sedianya pembangunan dilakukan awal tahun 2015. Namun, karena beberapa perubahan desain, konstruksi belum bisa dimulai.
"Setelah TPAK, Signature Tower Jakarta akan diuji Tim Penasihat Konstruksi Bangunan (TPKB) dan Tim Penasehat Instalasi Bangunan (TPIB). Segera setelah semuanya beres, pembangunan akan dimulai," tandas Prasetyoadi.
Signature Tower Jakarta dirancang oleh Smallwood, Reynolds, Stewart, Stewart and Associates Inc. (SRSSA) yang dibantu PDW Architects sebagai mitra lokal. PT Grahamas Adisentosa mengembangkan proyek ini dalam cakupan 111 lantai yang berisi ruang ritel, perkantoran, dan hotel.