Jadi, bagaimana mereka bisa membeli rumah, jika penghasilan hanya berjalan seperti deret hitung, sementara harga rumah melejit mengikuti deret ukur. Asal tahu saja, harga rumah terendah di kompleks Kota Wisata yang setiap hari mereka bersihkan sudah mencapai Rp 1,3 miliar per unit. Sementara di perumahan lainnya sekitar Rp 450 juta untuk tipe 36/72.
Impian kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) seperti mereka untuk mendapatkan rumah tampaknya bakal semakin jauh dari kenyataan. Pasalnya, Kementerian Perumahan rakyat (Kemenpera) bakal menghentikan bantuan kredit kepemilikan rumah (KPR) dengan skema bantuan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahaan (FLPP) untuk rumah tapak pada Maret 2015.
Menurut Ketua DPD APERSI DKI Jakarta, Ari Tri Priyono, pencabutan subsidi tersebut akan semakin membuat kalangan MBR jauh dari "merdeka" dan tetap terjajah impian membeli rumah.
"Keputusan Menpera itu keliru. Tidak memerdekakan rakyat. Subsidi harusnya tidak perlu dicabut. Itu hanya akan membuat kalangan MBR semakin jauh mendapatkan mimpinya," tandas Ari.
Kondisi semakin diperparah, kata Ari, saat Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan loan to value (LTV) yang sangat memukul pengembang kecil. "LTV ini yang membuat omset kita anjlok. Kita harus menyiasati untuk membantu masyarakat beli rumah dengan sejumlah kreativitas, agar produk-produk kita terserap pasar," tambah Ari.