Dua di antara keluarga yang belum memiliki rumah tersebut adalah tenaga kebersihan dan penyapu jalan, Hasyim, dan Maryati.
Hasyim, pekerja serabutan yang tinggal di Desa Nagrak, Gunung Putri, Bogor, hingga kini masih tinggal di rumah kontrakan berbentuk bedeng. Dia menyewa rumah yang hanya sepelemparan batu dengan Puri Cikeas, kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, itu senilai Rp 700.000 per bulan.
"Saya nggak mampu beli rumah. Harganya sudah sangat tinggi. Di sekitar sini, untuk tipe 21 saja sekitar Rp 250 juta sampai Rp 350 juta. Sementara penghasilan saya setiap bulan tak tentu, kadang dapat, kadang tidak," urai pria dengan dua putra dan satu putri ini.
Meski demikian, Hasyim tak pantang menyerah. Dia terus berusaha mengumpulkan dana untuk mendapatkan rumah impian. Selain kerja serabutan, Hasyim juga menjadi tenaga kebersihan taman di perumahan elit Kota Wisata, dan terkadang nyambi di Perumahan Cibubur Country.
"Saya kerja apa saja dijalanin, asal halal. Walaupun upahnya sehari cuma Rp 40.000 untuk nyapu-nyapu jalan proyek (perumahan, red)," imbuhnya.
Demikian halnya dengan Maryati, atau karib disapa emak. Perempuan paruh baya ini sudah bekerja sebagai tenaga penyapu dan tenaga kebersihan di Perumahan Kota Wisata sejak 14 tahun silam.
"Alhamdulillah masih dapat kerjaan. Jadi, masih bisa makan dan nyekolahin anak," kata Emak kepada Kompas.com, Senin (18/8/2014).
Emak dan Hasyim hanyalah dua dari sekian banyak pekerja penyapu jalan dan taman kompleks-kompleks perumahan elite yang belum memiliki rumah. Namun, mereka pantang menyerah dan terus berusaha untuk dapat membeli tempat bernaung.
Lantas apa arti kemerdekaan buat mereka?
"Kalau belum punya rumah ya belum merdeka atuh. Masih ngutang sana-sini, nggak bisa beli gedong-gedong ya nggak merdeka," kata Emak dengan logat Sunda yang kental.
Setiap hari, Emak dan empat orang tenaga penyapu dan kebersihan lainnya harus menangani sekitar 300 rumah dalam satu klaster. Emak bertugas di klaster Montreal. Dari pekerjaannya ini, Emak mendapat penghasilan sekitar Rp 1 juta per bulan atau Rp 38.461 per hari.
Untuk bisa menyiasati kebutuhan ekstra atau tak terduga, Emak juga nyambi menjadi tukang cuci dan setrika di rumah-rumah klaster yang sama. Dia mendapat upah sekitar Rp 300.000 untuk 15 hari atas jasanya ini.
"Uang segitu nggak cukup. Harga-harga udah pada naik. Sebentar lagi, sewa rumah naik, karena katanya listrik juga naik. Tapi, mau gimana lagi? Harus cukup buat sebulan," tandas Emak yang tinggal tepat di rumah bedeng di belakang klaster Amerika, Kota Wisata.
Dia menyewa rumah bedeng tersebut Rp 500.000 per bulan. Jadi, dengan penghasilan hanya Rp 1 juta per bulan, Emak harus bisa mengatur pengeluaran seketat mungkin.
Jadi, bagaimana mereka bisa membeli rumah, jika penghasilan hanya berjalan seperti deret hitung, sementara harga rumah melejit mengikuti deret ukur. Asal tahu saja, harga rumah terendah di kompleks Kota Wisata yang setiap hari mereka bersihkan sudah mencapai Rp 1,3 miliar per unit. Sementara di perumahan lainnya sekitar Rp 450 juta untuk tipe 36/72.
Impian kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) seperti mereka untuk mendapatkan rumah tampaknya bakal semakin jauh dari kenyataan. Pasalnya, Kementerian Perumahan rakyat (Kemenpera) bakal menghentikan bantuan kredit kepemilikan rumah (KPR) dengan skema bantuan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahaan (FLPP) untuk rumah tapak pada Maret 2015.
Menurut Ketua DPD APERSI DKI Jakarta, Ari Tri Priyono, pencabutan subsidi tersebut akan semakin membuat kalangan MBR jauh dari "merdeka" dan tetap terjajah impian membeli rumah.
"Keputusan Menpera itu keliru. Tidak memerdekakan rakyat. Subsidi harusnya tidak perlu dicabut. Itu hanya akan membuat kalangan MBR semakin jauh mendapatkan mimpinya," tandas Ari.
Kondisi semakin diperparah, kata Ari, saat Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan loan to value (LTV) yang sangat memukul pengembang kecil. "LTV ini yang membuat omset kita anjlok. Kita harus menyiasati untuk membantu masyarakat beli rumah dengan sejumlah kreativitas, agar produk-produk kita terserap pasar," tambah Ari.