Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apartemen Kosong, Pengembang Tak Peduli

Kompas.com - 24/04/2014, 14:31 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah menjadi rahasia publik bila apartemen strata yang marak dibangun di kawasan Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jadebotabek) diborong oleh pembeli dengan motif investasi. Tak tanggung-tanggung, jumlah mereka jauh lebih banyak ketimbang konsumen dengan motif sebagai pengguna akhir (end user).

Dalam catatan Colliers International Indonesia, komposisi pembeli investor dan end user adalah 60 persen berbanding 40 persen. Demikian juga laporan berbagai lembaga riset dan konsultan properti lainnya seperti Cushman and Wakefield Indonesia dan Jones Lang LaSalle (JLL) Indonesia. Keduanya menyodorkan angka tak jauh beda.

Head of Research JLL, Anton Sitorus, tak menampik bahwa hingga saat ini, investorlah yang menjadi kontributor terbesar terhadap kinerja tingkat penjualan apartemen strata yang terus tumbuh sejak 2010 hingga kuartal I 2014. Dari total pasokan eksisting 91.330 unit, terserap 94 persen. Sementara pasokan baru sudah terjual 72 persen dari total 47.240 unit.

"Bahkan pada 2010 lalu, apartemen strata masih dikuasai investor. Begitu ada produk baru diluncurkan, mereka tak segan memborong dalam jumlah banyak. Saat itu, perbandingan jumlah pembeli investor dan end user masih di angka 80:20. Komposisi tersebut berubah seiring kesadaran untuk hidup praktis dan efisien di tengah kota. Pada 2011 menjadi 75:25, 2012 menjadi 70:30 dan saat ini 60:40," papar Anton kepada Kompas.com, Rabu (23/4/2014).

Jadi, bukan isapan jempol, bila ternyata apartemen menjadi barang komoditi yang diperjualbelikan dengan tawaran keuntungan investasi menggiurkan. Salah satunya adalah Thamrin Residence. Satu gedung apartemen tersebut dikuasai oleh seorang tokoh agama. Dia kemudian menjualnya ke komunitas keagamaannya. Sementara itu, di Mediterania Garden Residence 2, ada 21 unit yang sudah berpindah tangan kepada investor.

Green Palace Residence di Cikarang, Bekasi, juga tak luput dari jamahan investor. Sejumlah 100 unit di antaranya diborong investor, sisanya terbagi rata oleh konsumen individual dan konsumen korporat. Mereka membeli apartemen ini secara tunai bertahap.

Bila tingkat penjualan sangat tinggi hingga lebih dari 90 persen, bagaimana dengan tingkat hunian? Tidak ada satupun dari lembaga riset dan konsultan properti yang sanggup menjawabnya. Alasannya, tingkat hunian sangat sulit dilacak, lagipula pengembang atau pengelola gedung apartemen tidak memiliki kepentingan di situ.

"Bagi pengembang, mereka tak peduli apakah apartemen yang dibangunnya dihuni atau kosong. Yang penting bagi mereka adalah produk laku terjual dan mendapatkan pundi atau keuntungan untuk membangun properti lagi," tandas Anton.

Padahal, kondisi demikian adalah awal yang memicu kota-kota baru di China mengalami kekosongan, dan lebih mirip sebagai kota "hantu" karena sejumlah gedung apartemen yang dikembangkan secara sporadis selama kurun lima tahun terakhir dibiarkan kosong tak berpenghuni.

Kelas menengah China dibiarkan menikmati kenyamanan berinvestasi di sektor properti. Mereka membeli apartemen, mengharapkan keuntungan dari meningkatnya nilai apartemen dan sewaktu-waktu dapat tinggal di aset properti tersebut. Hasilnya, adalah tingkat kekosongan yang semakin tinggi akibat investasi yang bersifat spekulatif ketimbang pemenuhan kebutuhan riil masyarakat.

Jadebotabek pun mulai memperlihatkan gejala serupa. Meski tidak sepenuhnya kosong, namun tidak semuanya juga terhuni. Apartment Manager PT Prima Buana Internusa, Edwin O Gobel, memastikan, komposisi tingkat hunian rerata apartemen yang dikelolanya adalah seimbang alias fifty-fifty, antara penyewa dan pemilik.

Bahkan, di beberapa gedung apartemen seperti di Kemayoran, Kelapa Gading, dan kawasan Thamrin justru 60 persen penyewa, dan 40 persen pemilik. Sementara di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, ada apartemen strata yang dihuni oleh penyewa sebanyak 40 persen, pemilik 39 persen, dan dibiarkan kosong sebanyak 21 persen dari total sebanyak 780 unit.

Apakah kondisi demikian akan membuat harga apartemen tertekan bila yang menguasai pasar adalah investor, mempertimbangkan tingkat penjualan tidak selamanya linear dengan tingkat hunian? Pertanyaan berikutnya, bila apartemen-apartemen tersebut kosong tak berpenghuni, bagaimana dampaknya terhadap pasar properti? Bukankah ini sinyalemen yang harus diwaspadai?

Terhadap fenomena tersebut, Anton berpendapat, harga apartemen tidak akan tertekan selama pasar seken atau pasar sewa sama aktifnya dengan pasar primer. Dia mengakui, untuk saat ini pasar seken apartemen memang tidak seaktif pasar seken perumahan. "Namun, untuk mengetahui dengan pasti apakah kondisi pasar apartemen red alert atau tidak adalah dengan membuat studi mengenai repeat sales index," jelas Anton.

"Repeat sales index"

Repeat sales index merupakan sebuah metode untuk menghitung perubahan harga penjualan properti dari waktu ke waktu. Analis pasar properti menggunakan metode ini untuk memperkirakan perubahan harga rumah selama periode bulan atau tahun. 

Keuntungan metode penjualan berulang ini adalah dapat mengetahui perubahan harga berdasarkan penjualan properti yang sama, sehingga masalah dapat dihindari dalam  menjelaskan perbedaan harga properti dengan karakteristik yang berbeda-beda.

Metode penjualan berulang ini juga menawarkan alternatif yang lebih akurat untuk analisis regresi atau menghitung harga rata-rata penjualan berdasarkan wilayah geografis. Kelemahannya, metode ini tidak memperhitungkan properti yang terjual hanya sekali selama periode waktu yang dilaporkan.

Namun demikian, hasil dari metode ini mengindikasikan aktivitas pasar properti. Jika hasilnya adalah peningkatan harga, maka itu berarti menunjukkan penguatan permintaan. Demikian sebaliknya, jika terjadi penurunan harga, maka terjadi juga penurunan permintaan.

"Selama ini belum ada yang melakukan repeat sales index. Karena kami dan juga pengembang tidak memiliki kepentingan untuk itu," ujar Anton.

Padahal, studi ini diperlukan untuk membantu pengembang dalam melakukan ekspansi dan menghindari kesalahan investasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com