KOMPAS.com - Suku bunga KPR biasanya fixed pada 6 bulan atau 1 tahun atau 2 tahun pertama. Tetapi, setelah masa suku bunga fixed itu berakhir, konsumen biasanya dikejutkan dengan suku bunga yang tinggi.
Dengan alasan mengikuti suku bunga Bank Indonesia (BI), bank menaikkan suku bunga KPR. Namun ketika BI menurunkan suku bunga, bank tidak menurunkan suku bunga KPR. Ketika konsumen mengajukan keringanan suku bunga KPR, pada umumnya akan mengalami penolakan dari bank. Dengan alasan suku bunga dapat diturunkan apabila sisa pinjaman minimum sekian ratus juta, tidak terdapat kebijakan untuk menurunkan suku bunga KPR dan berbagai alasan lainnya.
Suku bunga KPR dihitung dari Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) ditambah dengan risiko atau premi yang ditentukan oleh bank. Besarnya risiko setiap konsumen berbeda, tergantung penilaian bank. Penilaian bank berarti bank mempertimbangkan kondisi keuangan debitor, prospek pelunasan kredit dan jangka waktu kredit.
Sebagai contoh, Bank A memiliki SBDK KPR sebesar 10%, maka suku bunga KPR yang dikenakan ke debitur 2% - 3 % di atas 10 %. Hanya, konsumen tidak pernah mendapat penjelasan dari bank mengapa konsumen dikenakan premi sekian persen.
Selama membayar angsuran KPR, tidak semua bank memberikan perincian bunga, angsuran yang telah dibayar dan sisa hutang. Apabila terdapat perubahan suku bunga KPR, konsumen tidak mendapat pemberitahuan terlebih dahulu. Konsumen baru mengetahui setelah rekeningnya terdebet secara otomatis.
Untuk itulah, bagi konsumen yang hendak melakukan take over KPR, ada baiknya dihitung secara detail terlebih dulu. Meskipun tampaknya konsumen akan memperoleh suku bunga KPR lebih rendah, tetapi konsumen tetap dibebani berbagai macam biaya untuk akad kredit yang
baru.
Sebagai contoh, konsumen harus membayar lagi asuransi jiwa dan asuransi kebakaran untuk perjanjian take over KPR. Padahal, dari bank sebelumnya, konsumen sudah memiliki asuransi jiwa dan asuransi kebakaran. Selain itu, bank dapat memberikan take over KPR apabila sisa kredit di atas 200 juta. Lalu, bagaimana dengan nasib konsumen dengan sisa kredit di bawah Rp 200 juta?
Ini merupakan hal yang aneh. Bukankah seharusnya bank memberikan kredit dengan jaminan sertifikat rumah? Selain itu jangka waktu KPR setidaknya 5 tahun, apakah waktu 5 tahun itu tidak cukup untuk mengurus sertifikat.
Masalah semacam ini seringkali muncul di Suara Pembaca media cetak dan online. Jadi, mau tidak mau, konsumen menerima apa yang disodorkan oleh pengembang karena tidak ada perjanjian tertulis yang memuat spesifikasi material rumah, waktu serah terima kunci, fasilitas di kawasan perumahan yang disediakan, waktu penyerahan sertifikat rumah dan lainnya. Tidak ada perjanjian yang membahas kompensasi apa yang akan diterima oleh konsumen apabila
pengembang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Sekali lagi, siapa yang akan melindungi konsumen yang membeli rumah secara kredit atau KPR?
Memilih pengembang
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan konsumen menjaga haknya. Simek berikut ini:
- Sebelum memutuskan membeli rumah, carilah informasi sebanyak mungkin mengenai pengembang yang akan dipilih.