Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bonafid Saja Tidak Cukup, Rekam Jejak Lebih Penting!

Kompas.com - 25/01/2014, 10:37 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Nama besar dan bonafid saja tidak cukup. Anda, calon konsumen yang baru akan memiliki hunian pertama, harus juga memperhatikan rekam jejak pengembang. Alih-alih memiliki hunian impian, dana melayang kemudian. 

Terlebih bila Anda termasuk dalam kategori masyarakat berpenghasilan terbatas, harus cerdas dan rajin mengumpulkan sebanyak mungkin informasi mengenai produk hunian, khususnya apartemen, dan rekam jejak pengembangnya. 

Menurut analis hukum properti, Eddy Leks, jangan karena silau kebesaran nama pengembang, calon konsumen menjadi hilang daya kritisnya. Konsumen yang cerdas adalah mereka yang mau bersusah payah menghimpun sebanyak mungkin informasi, baik tentang produk, pengembang, pendanaan, dan tentu saja perizinan. 

"Agar di kemudian hari tak menyesal dan uang yang terbatas menjadi bermanfaat, sangat penting memperhatikan hal tersebut. Jangan sampai luput karena terlalu antusias untuk mewujudkan hunian impian," urai Eddy kepada Kompas.com, Jumat (24/1/2014).

Hal mendasar yang harus diperhatikan calon konsumen apartemen adalah perizinan. Perhatikan apakah proyek apartemen tersebut sudah memiliki izin yang lengkap mulai dari Surat Izin Penunjukan dan Penggunaan Tanah (SIPPT), hingga Izin Mendirikan Bangunan (IMB). 

Perhatikan juga status lahan yang menjadi area pengembangan apartemen tersebut. Beberapa proyek apartemen di Jakarta, dibangun di atas lahan milik negara, dan juga milik badan-badan khusus seperti lahan di Kemayoran, Senayan atau Cibubur yang dikelola oleh Badan-badan Layanan Umum (BLU). 

Oleh karena itu, kita mengenal adanya HGB dan HGB murni, serta HGB di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL). HGB di atas HPL lebih rumit, bukan hanya masa kepemilikan HGB-nya yang harus diperpanjang bila sudah jatuh tempo, melainkan juga HPL-nya. Bila pemilik lahan tidak mau memperpanjang, maka harus ditempuh upaya-upaya pendekatan lain, mulai dari pendekatan ekonomi, sosial dan politik. 

"Apartemen ini untuk kepentingan umum di mana pemerintah harus mendukung penyelenggaraannya, bahkan sesuai UU harus membina. Bila ada kasus seperti apartemen Mangga Dua yang dibangun di atas HPL, maka pemerintah harus memberikan perpanjangan hak pengelolaan lahan," ucap Eddy. 

Tak cukup sampai di situ, lebih lanjut Eddy menjelaskan, sebelum Pengikatan Perjanjian Jual Beli (PPJB) ditandatangani, konsumen harus melihat apakah pertelaannya sudah ada.

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, perjanjian baru bisa ditandatangani bila pertelaan sudah mencapai progres konstruksi 20 persen. Hanya, kata Eddy, progres pembangunan 20 persen ini tak jelas, apakah terhadap total unit yang dibangun atau hanya dalam satu gedung. 

"Pertelaan adalah kepemilikan bersama yang dibagi menjadi unit-unit apartemen yang dapat dimiliki konsumen. Selan itu, ada juga benda bersama, bagian bersama, tanah bersama, dan hak bersama," kata Eddy. 

Bila pertelaan belum ada, maka Eddy menyarankan untuk tidak menandatangani PPJB. Meskipun dalam PPJB terdapat klausul yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak baik konsumen maupun pengembang, namun untuk menghindari potensi konflik dan kerugian, sebaiknya tidak ditandatangani. 

Hal berikutnya adalah rekam jejak pengembang. Mengetahui detil sejarah pengembang tak kalah penting. "Satu proyek mangkrak saja, maka buruklah nama si pengembang. Selain memperhatikan pengembang sebagai badan hukum, juga perhatikan para pemilik sahamnya. Bisa jadi, salah satu pemilik saham tersebut punya andil di proyek-proyek mangkrak tersebut," tandas Eddy. 

Banyak kasus apartemen mangkrak karena pengembangnya lebih suka menginvestasikan dananya pada instrumen investasi yang lebih likuid sehingga melupakan penyelesaian proyek apartemen yang konstruksinya sudah dimulai. 

"Pihak yang paling dirugikan adalah konsumen. Untuk mengurus haknya mereka harus mengekuarkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Jadi, saran saya, konsumen harus kritis dan cerdas," imbuh Eddy. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau