Kejadian tersebut, menurut Amien, juga merupakan akibat dari budaya kita selama ini yang selalu hanya bisa merespons saja, bukan mengantisipasi.
”Kita baru berkoordinasi setelah bencana terjadi,” katanya. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang dibuat agar bencana ditanggulangi sebelum, saat, dan sesudah bencana, belum banyak diadopsi daerah. ”Hanya daerah-daerah yang rawan gempa, seperti Yogyakarta, yang sudah mengadopsi,” tambahnya.
Sutopo juga menambahkan, perlu ada kajian risiko untuk meminimalkan dampak bencana. ”Perlu perhatian dari pengelola situ dan pihak pemda-pemberi izin pembangunan di mulut tanggul situ. Antara lain dengan melakukan pelebaran dan penguatan di bagian dalam tanggul,” ujar Sutopo.
Dilihat dari konstruksinya, tanggul situ pada umumnya berupa tanah urukan tanpa penguatan sehingga rawan jebol bila terjadi retakan dan tekanan tinggi ketika volume air meningkat.
Tanggul berisiko besar jebol bila terjadi retakan, apalagi jika volume airnya meningkat. Tanggul situ memang tidak didesain dengan
Semakin panjang periode banjir, semakin besar pula magnitudonya. Selain itu, prosedur operasi standar (SOP) tidak seketat bendungan.
Tentang kemungkinan jebolnya tanggul akibat faktor luar, seperti gempa, telah ditepis Kepala Bidang Pengamatan Gempa Bumi dan Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kusdinar Abdurachman di Bandung. Menurut dia, potensi gerakan tanah di wilayah Situ Gintung termasuk zona rendah.
Namun, ia mengkhawatirkan jebolnya tanggul memengaruhi gerakan tanah di sekitarnya. Ditambah hujan, tanah gembur di sekitarnya rawan bergerak. Kepala PVMBG Surono merekomendasikan agar masyarakat mewaspadai kemungkinan munculnya gerakan tanah atau longsor di sekitarnya.(ISW/YUN/RYO/ARN/CHE)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.