Dikotomi menara gading dan dunia luarnya bersifat abadi, sehingga pilar pengabdian masyarakat dalam misi universitas selalu ada, dan menjadi pecut untuk senantiasa kontekstual, empatik, dan relevan.
Berdiri pada 3 Juli 100 tahun silam, ketika itu penduduk kita mendekati 60 juta jiwa (sensus pertama 1930), Institut Teknologi Bandung (ITB) dikenal sebagai Technische Hoogeschool te Bandoeng.
Ini merupakan sekolah tinggi serta perguruan tinggi teknik pertama di Hindia Belanda. Jejak langkah ITB menghasilkan orang sukses, seratus tahun kemudian adalah saat yang tepat untuk kontemplasi kehadirannya di tengah masyarakat, kini Indonesia.
Dalam dua puluh lima tahun lagi, Indonesia akan menapak 100 tahun sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh.
Bersamaan dengan itu urbanisasi menjadi menu utama, ketika seluruh dunia menjadi masyarakat perkotaan, dan tak kurang dari 70 persen warga Indonesia akan tinggal dan hidup dalam tatanan urban.
Hari ini penduduk kita sudah 265 juta jiwa, maka tidaklah berlebihan bila kita menaruh harapan besar pada pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) ITB untuk berkiprah nyata.
Agar negara terhindar dari bencana akibat brutalitas penjarahan manusia atas sumber daya, maupun alam yang cenderung mengamuk karena ketidakseimbangan yang melawan kodrat.
Dikenal awal sebagai stedebouwkunde atau ilmu kekotaprajaan, jurusan PWK ITB berdiri September 1959 dengan nama Tata Pembangunan Daerah dan Kota (TPDK).
Selanjutanya berkembang menjadi Teknik Planologi dan sekarang PWK. Jurusan ini adalah program studi (prodi) PWK pertama di Indonesia, yang kemudian berkembang hingga 40-an prodi dari Aceh ke Papua.
Podi ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan, keterampilan serta sikap dalam tiga hal, yaitu pola pikir dan wawasan rasional yang komprehensif kemampuan berpikir strategis dan analitis untuk mendapatkan alternatif terbaik, dan kemampuan merumuskan alternatif pemecahan persoalan pembangunan yang dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dan moral, serta disepakati oleh banyak pihak.
Konteks dan pertanggungjawaban moral menjadi sangat penting dalam membangun kehidupan masyarakat.
Semakin terjalnya jurang kaya dan miskin, cepatnya perkembangan teknologi, rakus nya pertumbuhan sektor ekonomi terhadap lahan, dan marahnya reaksi alam, membuat para perencana harus menjawab berbagai pertanyaan penting.
Dengan pertambahan 200 juta dalam kurun 100 tahun terakhir, apakah lingkungan hunian kita memiliki ketahanan menghadapi risiko ke depan, dan bagaimana dengan dukungan infrastruktur yang ada, cukupkah? Apakah pendekatan sustainability akan menghasilkan situasi yang berbeda?
Mungkin saatnya kini untuk kita melihat tentang kota dan pedesaan Indonesia mendatang.
Apakah kita perlu melakukan transformasi besar, dan mempertanyakan akan relevansi pemikiran Howard, Corbusier atau Lynch?
Kalau iya, bagaimana kampus ITB menjawab tantangan ini? Bagaimana PWK ITB bisa keluar dengan terobosan keilmuan yang mumpuni?
Isu kontemporer perencanaan di Indonesia didominasi persoalan kebijakan perkotaan dan akan dihadapkan pada isu koordinatif yang sangat pelik.
Karena kita masih belum memiliki strategi yang tajam dalam menangani isu sistem kota-kota kita.
Perencanaan tata ruang, perencanaan pembangunan, aturan ruang hutan, pesisir, pulau maupun pengendalian, masih terkotak-kotak di berbagai lembaga.
Untuk itu dibutuhkan kerja pentahelix untuk menata ulang serta memperkuat kelembagaan terkait perencanaan dan isu perkotaan.
Perlu fokus pada peningkatan kemampuan birokrasi di bidang perencanaan untuk mengatasi kecepatan urbanisasi, termasuk mengatasi cepatnya pertumbuhan dan fleksibilitas pembangunan informal.
Dibutuhkan pula beberapa penyempurnaan kebijakan yang fokus pada hal utama yaitu sistem perkotaan yang seimbang dan berkeadilan, kota layak huni dan inklusif.
Perlu transformasi menerus dalam sistem perencanaan Indonesia, melalui proses perencanaan yang terintegrasi, pengendalian dan kepastian hukum yang lebih kuat, bentuk kerja sama antar-kelembagaan perencanaan, serta tata kelola metropolitan yang lebih baik.
Konsekuensi dari transformasi tersebut adalah pentingnya melihat perspektif global dalam mazhab perencanaan Indonesia.
Di sinilah peran penting ITB melalui PWK, sebagai menara mercu suar dan pusat produksi kearifan ilmu melalui mazhab penghela kemajuan (progressio).
Prasyarat pentahelix tentu semakin mengemukan, sehingga kampus harus senantiasa merapatkan barisan bersama industrinya dan mesin penyerap lulusan.
Tak pelak, kearifan praktis dan jejaring pendanaan akan terbuka lebar. Bentuklah lembagaa yang mengakomodasi para ahli yang berpengaruh.
Seperti Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indië - KIHTONI (Institut Kerajaan bagi Pendidikan Teknik Tinggi di Hindia Belanda) ketika menyiapkan pendirian Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hoogeschool) tahun 1917 merupakan gabungan pemuka pengusaha swasta, wakil kementerian dan asosiasi profesi.
Dengan adanya orang yang berpengaruh, persiapan dapat terlaksana secara baik dan berdirilah cikal bakal ITB tersebut.
Sebagai penghasil tenaga profesi, PWK ITB pun diharapkan membahu bersama para perencana Indonesia melalui asosiasi profesi nya, serta membangun pengertian antar kelembagaan maupun sektor swasta dalam menghadapi tantangan urbanisasi ke depan.
Kami alumni siap bahu membahu memberikan kontribusi untuk kemajuan bangsa. Selamat hari jadi ke-100 ITB. In harmonia progressio!
Bernardus Djonoputro
Aggota Advisory Board, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB (SAPPK ITB)
https://properti.kompas.com/read/2020/07/03/172314421/seabad-itb-dan-tantangan-urbanisasi-indonesia