JAKARTA, KompasProperti - Maraknya pengaduan konsumen akan pengembang nakal dalam beberapa tahun terakhir, mengundang keprihatinan banyak pihak.
Tak hanya keprihatinan dari instansi yang kerap menjadi tempat mengadu macam Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Ombudsman, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), melainkan juga sesama pengembang sebagai pelaku industri dan bisnis properti.
Baca: Kasus Pengaduan Properti Meningkat 12,7 Persen
Menurut Direktur Utama PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) Adrianto P Adhi, fenomena pengembang nakal atau seringkali wanprestasi, telah meresahkan.
"Mereka tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga nama baik pengembang secara keseluruhan. Kami yang berusaha menjalankan komitmen dengan baik, terkena dampak perilaku mereka," tutur Adrianto menjawab KompasProperti, Sabtu (20/5/2017).
Oleh karena itu, tambah Adrianto, sebagai sesama pengembang dan atas nama perusahaan yang secara profesional selalu berusaha memegang komitmen demi kelangsungan bisnis properti yang kondusif, mengusulkan untuk dibuat developer rating.
Rating ini, dinilai penting karena untuk menciptakan bisnis properti yang sehat, kondusif, dan persaingan usaha yang positif.
Baca: Selama Empat Tahun, OJK Terima 664 Aduan Terkait Properti
Adrianto menjelaskan pemeringkatan pengembang atau semacam akreditasi ini bisa dibuat oleh badan independen, atau badan profesional yang ditunjuk oleh pemerintah.
Mereka menetapkan rating berdasarkan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi oleh pengembang. Mulai dari konstruksi finansial, skala proyek, komitmen membangun dan serah terima kunci kepada konsumen, pengelolaan keluhan konsumen, dan lain sebagainya.
Rating untuk pengembang skala A tentu harus dibedakan untuk pengembang skala di bawahnya B atau C.
"Kalau ada rating seperti ini, yang diuntungkan nggak cuma pengembang, juga melindungi konsumen dari praktik pengembang nakal," tambah Adrianto.
Di China saja, ujar dia, pengembang baru bisa memasarkan atau berjualan setelah atap pada produk propertinya terpasang.
Sementara di Indonesia, hanya berjualan gambar tanpa kelengkapan perizinan, sudah bisa meraup uang konsumen. Padahal, tak ada jaminan rumah atau properti yang ditawarkan, terbangun.
OJK sendiri mengungkapkan laporan aduan masyarakat terkait persoalan properti, setidaknya ada 664 aduan yang diterima dalam kurun waktu empat tahun terakhir.