Sebagai anggota Advisory Council dari Urban Infrastructure Network APEC, saat ini saya sedang mengikuti rapat tahunan di Singapura. Para pakar dan eksekutif infrastruktur bertemu untuk memberikan rekomendasi aksi bagi para pemimpin negara APEC dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur.
Partisipasi swasta dan unit kerja persiapan proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta atau Public Private Partnership (PPP) menjadi salah satu agenda yang akan direkomendasikan, baik melalui APEC Business Advisory Council (ABAC) maupun lembaga multilateral seperti Asian Development Bank (ADB) dan World Bank.
Sejak pemerintah menggulirkan rencana percepatan pembangunan infrastruktur pada 2005, harapan Indonesia untuk lepas dari jeratan kemandegan terus menghadapi tantangan. Kerja keras pemerintah difokuskan pada usaha untuk mengurai sejumlah potensi proyek prioritas infrastruktur yang menyebar di berbagai wilayah Indonesia.
Dari 225 proyek strategis nasional dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, pemerintah telah memutuskan peran Komite Percepatan Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPIP) untuk mengawal 30 proyek prioritas.
Dari 30 proyek prioritas tersebut termasuk di antaranya Jalan Tol Balikpapan-Samarinda, Manado-Bitung, Panimbang-Serang, Trans Sumatera, Kereta Api Cepat Bandara Internasional Soekarno-Hatta, MRT Jakarta, Makassar-Pare Pare, Pelabuhan Hub International Kuala Tanjung dan Bitung.
Ada juga 6 pembangkit listrik dan sistem distribusi listrik di Jawa dan Sumatera. Selain itu, ada kilang minyak Bontang, Tuban dan revitalisasi kilang yang ada saat ini. Beberapa kota akan membangun air bersih dan manajemen limbah.
Total dana yang dibutuhkan untuk percepatan pembangunan 30 proyek prioritas tersebut tidak kurang dari Rp 851 triliun.
Sayangnya, kebanyakan dari proyek prioritas tersebut, masih sebatas daftar panjang semacam menu restoran. Sangat jarang dijumpai proyek atau calon proyek tersebut memiliki studi kelayakan yang final dan mumpuni.
Di sisi lain, saat ini pemerintah telah merancang perangkat dan institusi mulai dari peraturan pemerintah, perusahaan penjaminan maupun pengelola dana infrastruktur untuk penyertaan ekuitas pemerintah.
Dana talangan pemerintah berupa Viability Gap Fund (VGF), serta mekanisme pendanaan melalui organ-organ keuangan, seperti PT Sarana Multi Infrastruktur dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, sudah dibentuk.
Untuk dapat mencapai target, pemerintah kerap mengatakan akan mengundang swasta melalui pembentukan kerangka kemitraan antara pemerintah dan badan usaha. Namun, istilah PPP atau Kemitraan Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) seolah menjadi jargon politik mandraguna dan bahan bahasan di hampir semua ruang diskusi publik maupun di level kebijakan pemerintah, bahkan di istana.
Ingat, membangun infrstruktur dasar itu adalah tugas pemerintah! Investor swasta akan tertarik ikut serta, bila ada hitungan pengembalian dan berbagi risiko.
Walaupun selalu menjadi kata kunci, namun dalam pelaksanaannya, masih banyak kendala yang senantiasa menciptakan persepsi negatif tentang keseriusan Indonesia dalam mengundang partisipasi swasta membangun infrastruktur.
Kerangka KPBU kita dalam meletakkan swasta, baik investor asing maupun dalam negeri, berperan sebagai mitra utama. Kemitraan ini tidak hanya dalam wujud menyediakan bagian terbesar dana yang dibutuhkan, namun juga berkaitan dengan teknologi, desain, rancang bangun dan pola penghasilan atau business plan.
Sektor publik atau pemerintah menyediakan peran pendukung, memfasilitasi pembebasan lahan, perizinan, dan kadangkala jasa kontraktor konstruksi sebagai subkontraktor.