"Area konflik di sektor perkebunan, yakni seluas 302.526 hektar. Disusul oleh sektor kehutanan seluas 52.176 hektar," ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin di Jakarta, Selasa (5/1/2016).
Posisi selanjutnya diduduki pertambangan 21.127 hektar, pesisir-kelautan 11.231 hektar, infrastruktur 10.603 hektar, sektor lain-lain seluas 1.827 hektar dan terakhir sektor pertanian seluas 940 hektar.
Dalam 5-10 tahun ke depan komoditas kelapa sawit akan terus menimbulkan krisis agraria yang semakin parah.
Kelangkaan lahan di negara-negara maju untuk ekspansi perkebunan skala besar dan kebutuhan global atas pasokan kelapa sawit telah menjadikan lndonesia sebagai sasaran utama para pemodal asing dan domestik.
Indonesia akan "dipaksa" untuk terus mengembangkan perkebunan dan industri pengolahan kelapa sawit.
Berdasarkan laporan data konflik agraria KPA dengan pembagian 34 provinsi, enam besar provinsi "penyumbang" konflik agraria adalah Riau sebanyak 36 konflik (14,4 persen), dan Jawa Timur 34 konflik (13,6 persen)
Kemudian Sumatera Selatan 23 konflik (9,2 persen), Sulawesi Tenggara 16 konflik (6,4 persen), Jawa Barat dan Sumatera Utara 15 konflik (masing-masing 6 persen) serta Lampung 12 konflik (4,8 persen).
"Daerah-daerah ini mengalami perluasan di sektor perkebunan, yang kita ketahui dilakukan para oknum dengan cara keji, yaitu membakar lahan," jelas Iwan.
Ia menambahkan, dalam upaya penyelesaian, pemerintah diharapkan tidak melakukan pendekatan hukum formal, karena tidak akan ketemu substansinya.
Di satu sisi, pemerintah memfasilitasi pengusaha dalam skala besar dengan hukum tumpang tindih.
Iwan mengibaratkan, perusahaan diminta untuk meningkatkan produksinya namun perluasan perkebunan jika dilakukan sesuai pertaturan akan mahal.
Beralasan musim panas, perusahaan mengekspansi lahan secara murah meriah yaitu dengan membakarnya.