JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menyayangkan pemerintah yang tidak menempatkan konflik agraria sebagai prioritas. Menurut dia, jika tidak segera diatasi dan dicarikan solusi, konflik bisa meningkat.
"Memang belum ada rilisnya soal peningkatan konflik agraria tahun ini. Tapi, tahun 2014 saja sudah meningkat (dari tahun sebelumnya)," ujar Iwan kepada Kompas.com, Senin (28/9/2015).
Dia menyebutkan, pada 2014 setidaknya ada 472 konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Angka ini meningkat dibandingkan 2013 yakni 198 konflik.
Melihat keadaan saat ini, Iwan khawatir, angka tersebut bisa membengkak dan bahkan intensitasnya meluas karena tidak ada langkah-langkah penyelesaian konflik agraria oleh pemerintah, khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Walhasil, lahan-lahan sudah tidak lagi dimiliki oleh rakyat. Saat bersamaan, proyek-proyek infrastruktur juga turut mendorong konflik karena tidak didesain untuk mengajak partisipasi rakyat.
"Penyertaan modal keuntungan, relokasi yang baik, ganti kerugian yang sesuai dengan permintaan masyarakat, itu semua belum terpenuhi," tambah Iwan.
Dia menandaskan, selama ini pemerintah selalu mengeluhkan tanah terlalu mahal untuk pembangunan infrastruktur. Namun, jika dibandingkan dengan nilai proyek keseluruhan, nilai tanah adalah yang paling kecil.
Kasus tersebut semakin menambah panjang daftar konflik agraria di Jawa Timur. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, selama Januari-September 2015, sedikitnya ada 15 konflik sumber daya alam, terkait imbas alih fungsi lahan untuk pertambangan, dan industri.