Gempa dahsyat yang mengguncang Nepal pada 25 April 2015 lalu, contohnya. Gempa ini mengakibatkan banyaknya infrastuktur negara tersebut rusak parah. Sayangnya, sebagian besar komunitas arsitek justru menunggu hingga negara tersebut dinyatakan selesai dari fase darurat, untuk kemudian memberikan bantuan.
Ada tiga fase yang berbeda dalam bencana alam yakni fase darurat yang didefinisikan sebagai periode tiga minggu segera setelah bencana, fase lega yakni enam bulan meliputi pembangunan perumahan jangka pendek, dan fase pemulihan yang melibatkan perencanaan dan pembangunan kembali jangka panjang. Fase ketiga ini dapat berlangsung selama tiga tahun atau lebih.
Dalam memberikan bantuan, para arsitek sebenarnya tak perlu menunggu hingga kota atau negara yang terkena bencana dinyatakan masuk fase pemulihan.
Pada fase darurat, arsitek dapat membantu terutama melalui penggalangan dana atau menyumbangkan uang. Arsitek juga dapat memberikan bantuan yang sesuai dengan kreatifitas mereka.
Contohnya tak lama setelah tsunami di Jepang pada Maret 2011, desainer tekstil Yoko Ando membuat tirai yang dijual secara murah dan dapat digunakan untuk menggantikan dinding sekat pada tempat pengungsian sementara.
Pada fase berikutnya, arsitek dapat merancang rumah sementara untuk para pengungsi dengan konstruksi sederhana yang mudah dibangun. Setelah tsunami 2011, Shigeru Ban, arsitek beken asal Jepang, merancang perumahan sementara bagi warga pengungsi yang terbuat dari kontainer pengiriman.
Jadi, sesungguhnya, ada banyak peran yang bisa dilakoni para arsitek pasca-bencana. Tinggal kemauan, dan empati untuk membantu memulihkan keadaan.