Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dalam Setahun, Indonesia Mencetak Hanya 50.000 Sarjana Arsitek

Kompas.com - 02/09/2015, 08:08 WIB
Arimbi Ramadhiani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Untuk profesi arsitek bertaraf ASEAN maupun dunia, Indonesia belum bisa dikatakan setara. Lulusan arsitek Indonesia yang bekerja di luar negeri, dianggap masih di bawah klasifikasi atau standar.

Untuk itu, pemberian sertifikasi arsitek sangat dibutuhkan dan mendesak. Namun, sertifikasi juga tidak mudah dilakukan mengingat lulusan arsitek di Indonesia terbatas.

"Dari kebutuhan 200.000, kami (Universitas Indonesia) hanya sanggup 50.000 setahun. Kekurangannya banyak," ujar Profesor Arsitektur Universitas Indonesia Yandi Andri Yatmo di Jakarta, Senin (31/8/2015).

Yandi menambahkan, tantangan lainnya adalah berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dia mempertanyakan, siapkah arsitek Indonesia menghadapinya.

Dalam hal ini, yang dinamakan arsitek bukan begitu lulus kemudian mengaku sebagai arsitek. Namun sudah melewati proses legalisasi dan sertifikasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut, kondisi sekarang tidak terlalu menguntungkan bagi Indonesia.

Yandi menambahkan, selama ini pendidikan arsitek mengacu pada UU perguruan tinggi Nomor 12 Tahun 2012 dan International Union of Architects (UIA), yakni aturan dan kompetensi arsitek supaya bertaraf internasional.

Pada pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 2012, untuk menjadi sarjana dibutuhkan waktu 4 tahun ditambah pendidikan profesi satu tahun. Jadi, butuh 5 tahun untuk menjadi arsitek. Hal tersebut, menurut Yandi, sesuai dengan UIA. Masalahnya, di atas kertas tidak ada kejelasan soal universitas yang memberi gelar dan profesi arsitek.

"Ada 13 perguruan tinggi dengan pendidikan profesi. Namun hanya UI yang terdaftar di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) memiliki pendidikan profesi. Dengan mengikuti UU Tahun 2012, hanya UI yang berhak memberi gelar profesi kepada lulusannya. Lainnya, harus cangkok ke magister," jelas Yandi.

Dreamstime.com Ilustrasi
Butuh 17 tahun menjadi arsitek

Terkait sertifikasi yang dibebankan kepada calon arsitek, Yandi menilai Rancangan UU (RUU) Arsitek juga belum sempurna karena ada proses tertentu yang harus dijalani arsitek. Proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama.

Pertama, RUU Arsitek Pasal 6, disebutkan bahwa arsitek harus lulus program arsitektur selama lima tahun baik di dalam maupun luar negeri. Dibandingkan dengan UIA, kata Yandi, peraturan ini masih serupa.

Namun, Pasal 9 menyebutkan bahwa arsitek harus mengikuti magang sekurang-kurangnya dua tahun secara terus-menerus. Dibandingkan dengan UIA, magang atau istilah lainnya yang hampir sama, tidak perlu memakan waktu dua tahun secara terus-menerus.

"Padahal sebenarnya bisa mengambil pendidikan profesi dulu satu tahun, baru melanjutkan magang lagi satu tahun berikutnya," kata Yandi mencontohkan.

Selain itu, lanjut dia, Pasal 17 juga disebutkan untuk mendapatkan lisensi, arsitek harus memiliki pengalaman praktik selama 10 tahun. 

Dengan demikian, jika ditotal, seorang arsitek baru mendapat lisensi setelah 17 tahun. Oleh sebab itu, Yandi menyarankan supaya pemberian lisensi cukup dua tahun sejak kelulusan, seperti yang ada pada UIA.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau