Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Negara-negara dengan Sektor Properti Terpuruk Akibat Kepemilikan Pihak Asing

Kompas.com - 11/07/2015, 04:41 WIB
Arimbi Ramadhiani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Kepemilikan warga negara asing (WNA) atas properti di Indonesia masih menjadi polemik. Salah satu alasan WNA begitu diperjuangkan dalam hal ini karena Indonesia terus merugi akibat warga yang lebih memilih membeli properti di luar negeri.

Sebaliknya, WNA tidak diizinkan untuk membeli properti di dalam negeri. Namun, Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo tidak sependapat dengan hal itu. Saat WNA diizinkan memiliki properti di Singapura, misalnya, harga properti menjadi tinggi. Karena warga mengeluhkan hal ini, Pemerintah Singapura pun memberlakukan kebijakan untuk mengerem kepemilikan properti oleh WNA.

"Kita (warga negara Indonesia atau WNI) memang bisa beli properti di luar. Di Singapura misalnya. Syaratnya, harus (dalam kondisi bahwa tinggal) 20 persen warganya yang belum punya rumah," ujar Eddy seusai acara berbuka puasa bersama anak yatim di Hotel Ibis, Cawang, Jakarta, Jumat (10/7/2015).

Dengan kondisi bahwa 80 persen penduduk Singapura sudah memiliki rumah, lanjut Eddy, maka pemenuhan kebutuhan papan bagi 20 persen lainnya akan lebih mudah. Selain itu, bagi WNA yang belum satu tahun kepemilikannya tetapi ingin menjual rumah tersebut, Pemerintah Singapura memberlakukan pajak sebesar 16 persen. Apabila ingin menjual properti setelah lebih dari setahun, maka beban pajaknya adalah 8 persen.

Sementara itu, menurut wacana yang berkembang di Indonesia, kepemilikan oleh WNA akan dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dengan ketetapan minimal hunian senilai Rp 5 miliar. Adapun pajak ini juga berlaku untuk barang mewah lainnya yang dimiliki WNI.

"Orang Singapura yang beli properti, (dibanding) orang asing yang beli, bedanya 3-18 persen. Masa kita sama?" sebut Eddy.

Bukan hanya Singapura, imbuh Eddy, Australia pun tengah berdebat soal gelembung properti (bubble property). Ada yang mengatakan bahwa Australia sudah mengalami gelembung ataupun menuju gelembung, ada pula yang mengatakan tinggal menunggu gelembung pecah. Persepsi mana pun yang benar, kata Eddy, intinya tetap saja Australia tengah memperlambat laju penjualan properti untuk orang asing.

Di Jepang, kondisinya tidak jauh berbeda. Tidak seperti julukannya, Negeri Matahari Terbit, mereka justru tidak mengalami sunrise untuk properti. Sebaliknya, pada faktanya, malah banyak rumah kosong di Jepang. Penyebabnya, kebanyakan rumah dibeli untuk investasi, bukan untuk ditinggali.

Soal budaya, Jepang memang tidak memaksakan penduduknya untuk memiliki rumah. Dari perhitungan ekonomi, uang atau modal jauh lebih besar keuntungannya jika digunakan untuk usaha. Pasalnya, harga rumah sudah mahal sekali.

Sudah banyak contoh negara yang terpuruk di sektor properti akibat membuka keran terlalu lebar bagi pihak asing. Menurut Eddy, Dubai juga sudah mulai mengarah ke gelembung properti karena hal tersebut.

Dari pertimbangan-pertimbangan itulah, Eddy mempertanyakan perkara Indonesia ketika harus meniru negara lain soal membuka keran kepemilikan properti bagi orang asing. "Kata siapa negara asing sukses? Bohong itu," kata Eddy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau