Ketua Apersi Eddy Ganefo menegaskan, jika orang asing diperbolehkan memiliki properti di Indonesia, maka hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu. "Seolah-olah hak pakai seumur hidup berbeda dari hak milik. Ini kan hanya keinginan pengembang-pengembang besar dan konsultan asing. Mereka ingin dapat keuntungan di negara kita," ujar Eddy di Jakarta, Jumat (10/7/2015).
Eddy mengganggap, para pengembang yang setuju keran properti untuk WNA dibuka ini beralasan, banyak pembelian rumah dengan atas nama orang lain berkewarganegaraan Indonesia. Namun, mereka tidak bisa menunjukkan data pasti berapa pembelian yang diatasnamakan warga negara Indonesia (WNI) ini.
Sebaliknya, menurut dia, jika mereka memiliki data tersebut, maka sama saja mereka melakukan pelanggaran hukum. Pembelian properti nominee, berdasarkan perkawinan campuran antara WNA dan WNI, harta merupakan milik bersama. Dengan demikian, meski atas nama istri WNI, asing tetap memiliki properti di Indonesia. Padahal, menurut Undang-undang, bumi, air dan udara hanya boleh dimiliki langsung oleh WNI.
Menanggapi ekonomi lesu, khususnya pada properti menengah ke atas, hal ini masih bisa dipatahkan. "Ekonomi lesu bukan hanya di Indonesia, tapi dampak dari negara luar, misalnya Tiongkok dan Yunani," sebut Eddy.
Jika dikatakan properti yang dibeli asing bisa mendatangkan devisa, hal ini belum tentu juga terbukti. Tidak ada jaminan orang asing berbondong-bondong membeli properti di Indonesia, meski properti asing di luar sedang lesu. Harga properti di Indonesia memang lebih murah. Namun, itu sudah overheating, khususnya hunian mewah.
"Kenaikan harga rumah melonjak 30 persen hingga 35 persen, ini sudah tidak menarik juga," jelas Eddy.
Ia menambahkan, justru saat orang asing diberi keleluasaan dalam memiliki properti, maka harga properti dan lahan akan naik lagi. Ketika rumah murah sudah tidak mungkin lagi dibangun karena harga lahan selangit, maka yang terkena dampaknya adalah rakyat dan pengembang kecil.
Eddy bahkan memprediksi, sebanyak 60 juta penduduk yang belum punya rumah, terpaksa harus menyewa. Pengembang kecil akan gulung tikar karena tidak bisa bangun properti komersial dalam skala besar.
"Yang menikmati (properti asing) puluhan pengembang besar, yang terdampak pengembang kecil jumlahnya ribuan," ucap Eddy.