JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana Pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 tahun 1996 tentang Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing atau Warga Negara Asing (WNA) demi mengakomodasi pembeli properti asal mancanegara, dinilai tidak menyentuh substansi permasalahan.
"Angin surga" apa pun yang akan diterbitkan tidak dapat mengubah Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. UUPA ini menyatakan bahwa WNA hanya dapat diberi hak atas tanah dengan status Hak Pakai selama 25 tahun.
Pakar dan pengamat hukum properti, Erwin Kallo, mengutarakan pendapatnya terkait kontroversi diperluasnya hak kepemilikan orang asing atas properti di Indonesia kepada Kompas.com, Kamis (8/7/2015).
“Jika ingin mengakomodasi orang asing yang ingin membeli properti di Indonesia, yang maksimal dapat dilakukan pemerintah adalah melonggarkan syarat-syarat administrasinya. Misalnya, mereka tidak perlu lagi pakai izin bekerja dan sebagainya,” ujar Erwin.
Erwin menjelaskan, sebenarnya masalah kepemilikan properti bagi orang asing tidaklah serumit dan seheboh yang dibayangkan, jika para pengembang dan pemerintah sepakat tentang pemahaman dan penggunaan Hak Pakai.
Sebab dalam prakteknya, lanjut Erwin, hanya terdapat dua jenis sistem kepemilikan yang dapat menampung kepemilikan properti oleh orang asing. Pertama, untuk rumah tapak atau landed house, tidak terdapat masalah, karena tanahnya dipecah per kavling. Sehingga kavling yang dibeli oleh WNA dapat diubah statusnya menjadi Hak Pakai.
Kedua, untuk properti dengan status strata title dapat saja tanah bersamanya berstatus Hak Pakai, karena pada hakekatnya yang dijual adalah satuan unitnya yang tetap berstatus sertipikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (HM Sarusun).
Menurut Erwin, kekhawatiran pengembang atas tanah berstatus Hak Pakai akan menyebabkan berkurangnya minat orang membeli properti tidak perlu terjadi, bila pemerintah mau melakukan terobosan hukum. Dalam hal ini pemerintah bisa mengeluarkan regulasi, bahwa untuk pembangunan rumah susun seperti apartemen, kondominium, perkantoran dan sebagainya, hak atas tanah bersamanya hanya dapat diberikan dengan status Hak Pakai.
“Dengan begitu, tidak ada pilihan lain bagi pasar (konsumen) untuk membanding-bandingkan antara Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai. Sementara para pengembang harus memegang komitmen menyeragamkan status tanah bersama dengan Hak Pakai,” jelasnya.
Selain itu, kata Erwin, pemerintah bersama REI harus proaktif melakukan sosialisasi bahwa secara yurisdis (hukum) tidak ada perbedaan yang signifikan antara HGB dan Hak Pakai. Pasalnya, masa berlaku Hak Pakai sudah ditingkatkan menjadi 20 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun lagi.
Karena sudah ditingkatkan masa berlakunya inilah, properti Hak Pakai dapat dijadikan agunan atau dijaminkan kepada bank (bankable). Sebelumnya, masa berlaku Hak Pakai hanya 10 tahun, dan tidak dapat dijaminkan.
"Ini artinya pemerintah dapat mendorong pasar melalui terobosan regulasi, dan dapat diaplikasikan. Terlebih, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN sedang merancang sebuah peraturan pemerintah untuk masa berlaku Hak Pakai yang akan diberikan seumur hidup," imbuh Erwin.
Jangan mimpi
Dengan demikian, tidak ada masalah jika Pemerintah menggunakan landasan hukum Hak Pakai untuk mengakomodasi kepentingan WNA dalam membeli dan memiliki properti di Indonesia.
Meski begitu, Erwin tetap mengingatkan, untuk jangka pendek jangan bermimpi dapat mengubah UUPA yang oleh sebagian kalangan dianggap “sakral”, karena menyangkut masalah nasionalisme. Kalaupun mengamandemennya, akan ada perdebatan panjang dan berpotensi terjadi gejolak sosial.
“Solusinya terpulang kepada kesepakatan dan konsistensi pengembang untuk menggunakan Hak Pakai dan didukung peraturan pemerintah yang mewajibkan semua properti strata title menggunakan Hak Pakai," cetus Erwin.
Sebaliknya, untuk pengembang yang kadung menggunakan HGB akan diubah statusnya menjadi Hak Pakai pada saat perpanjangan masa berlaku HGB-nya.