Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Smart City" dan Tradisi Pengelolaan Kota yang Buruk

Kompas.com - 10/04/2015, 11:30 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Asia Afrika Smart City Summit (AASCS) boleh saja digelar pada 22-23 April 2015 nanti, dan Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) boleh saja diluncurkan untuk menilai kota-kota yang berhasil menerapkan konsep kota cerdas dalam menjawab masalah perkotaan.

Namun, kota cerdas bukan semata pada penggunaan dan pembaruan teknologi informasi, dan telekomunikasi, melainkan pada panjangnya tradisi pengelolaan kota secara berkelanjutan, dan simultan.

Urbanis Indonesia, Bambang Eryudhawan, mengungkapkan pendapatnya terkait konsep smart city, dan IKCI kepada Kompas.com, Kamis malam (9/4/2015).

"Sebagai sebuah upaya untuk membuat kota kita lebih baik tentu boleh dicoba IKCI. Tetapi itulah, kota bukanlah sekadar pembaruan teknologi. Peralatan bisa dibeli, UPS kek, USB kek, tetapi tradisi menata kota yang berkesinambungan oleh pelaku kota, khususnya pemerintah kota masih mimpi," beber Yudha, sebutan karib Bambang Eryudhawan.

Mengutip Francis Fukuyama dalam buku berjudul State Building: Governance and World Order in The Twentieth-first Century, Yudha mengatakan, betapa negara-negara dunia ketiga, atau negara berkembang dengan mudah mengambil alih teknologi, telekomunikasi, penerbangan, media siar, dan sebagainya, macam Command Center di Kota Bandung, di satu sisi. Sementara di sisi lain, pemerintah kota justru masih kelabakan mengurus kota.

Yudha kemudian mencontohkan, memperbaiki trotoar atau jalur pedestrian saja tak kunjung beres. Diperbaiki sisi utara, sisi selatan terdapat galian, demikian sebaliknya. Demikian halnya dengan masalah perizinan, seperti kasus Summarecon Bandung yang merupakan bagian dari Bandung Technopolis.

Padahal, berkas perizinan yang diajukan PT Summarecon Agung Tbk sudah lengkap. Hal ini diakui Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Bandung, Aos Bintang. Menurutnya semua berkas perizinan Summarecon Bandung tidak bermasalah, dan lengkap.

"Semua lengkap dan tidak masalah. Masih sedang diproses semuanya," ungkap Aos.

Jadi, kata Yudha, mengelola kota bukan hal instan yang bisa disulap hanya dengan pembaruan teknologi informasi dan komunikasi. Sumber daya manusia (SDM) di jajaran birokrasi, dan seluruh pengelola kota juga perlu diperbarui.

"Soal gagasan kota cerdas perlu diacungi jempol. Upaya Ridwan Kamil juga patut diapresiasi. Tapi sekali lagi, ini bukan sekadar teknologi canggih dengan peralatannya. Ini soal sumber daya manusia, soal kesabaran, dan seterusnya," tandas Yudha.

Kerepotan mengurus perbaikan trotoar kota merupakan cermin apakah kota tersebut bisa dinilai cerdas atau tidak. Karena itu, tambah Yudha, para wali kota dan pemimpin kota harus banyak belajar dari Wali Kota Bogota yang konsisten, sabar, dan telaten. 

"Surabaya menjadi seperti sekarang karena sudah dirintis jauh sebelum Bu Risma jadi wali kota. Sejak di Dinas Pertamanan dan Kebersihan, dia sudah memulainya dan ditersukan ketika menjabat Kepala Badang Perencanaan Pembangunan Kota dan sekarang Wali Kota," papar Yudha.

Jika dihadapkan pada dua gagasan, Livable City  dan Smart City, Yudha lebih memilih yang pertama. Alasannya, lebih komprehensif, dan kolektif. Sementara smart city bisa saja lebih eksklusif.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com