Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Gedung Mewah Jakarta, Banyak Kawasan Kumuh Tak Tertata

Kompas.com - 25/02/2015, 18:34 WIB
Arimbi Ramadhiani

Penulis

DEPOK, KOMPAS.com — Kendati pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menunjukkan angka positif, hal itu tidak paralel dengan pemerataan kesejahteraan masyarakat, terlebih bila tingkat kesejahteraan diukur hanya berdasarkan produk domestik bruto (PDB).

"PDB memang masih baik berdasarkan harga berlaku sebesar Rp 10.542,7 triliun dan PDB per kapita 3.631,5 dollar AS. Tetapi, itu hanya secara makro. Kalau dilihat mikro, gap (kesenjangan) antara yang punya dengan yang tidak (punya) masih terlihat," ujar pengamat dan perencana perkotaan, Sigit Kusumawijaya, saat memberi materi Peran Kreatif Melalui Kepekaan Sosial dan Lingkungan di Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok, Rabu (25/2/2015).

Dia kemudian mengutip Quality of Living Survey Worldwide Ranking pada 2012, bahwa Jakarta menempati 138 dari 221. Posisi ini jauh berada di bawah Malaysia dan Singapura sebagai negara yang letaknya paling dekat dengan Indonesia.

"Jakarta memang megapolitan. Tetapi, secara kualitas, kita kalah sama mereka (Singapura dan Malaysia). Di Jakarta, ada kesenjangan yang nyata," kata Sigit.

Hal itu, menurut Sigit, terlihat dari banyaknya gedung tinggi dan mewah, sementara di sekitarnya masih ada lingkungan kumuh yang padat. Dia berharap pemerintah bisa mengaturnya lebih baik.

"Namanya perbedaan high rise dan low rise sebenarnya tidak apa-apa asal tetap diatur dengan baik. Peletakan zoning-nya tepat. Dengan begitu, cakrawala (skyline) kota tetap harmonis," kata Sigit.

Dia mencontohkan, beberapa daerah yang timpang ini antara lain kawasan Sudirman dan Kuningan yang di bagian belakangnya masih banyak kawasan kumuh di Tanah Abang dan Waduk Melati.

Tak hanya itu, seiring dengan banyaknya pembangunan, baik pencakar langit maupun bangunan kumuh yang ilegal, ruang terbuka juga semakin berkurang, khususnya area taman. Karena lahan terbatas, tetapi masyarakat masih butuh akan ruang terbuka hijau, beberapa pihak mulai menyiasatinya.

"Ada mal yang menciptakan taman artifisial. Kalau dari estetika memang bagus, tapi tetap saja itu artifisial. Ironi saja, sampai menaruh taman di dalam mal," sebut Sigit sambil menunjukkan gambar salah satu taman artifisial di dalam mal yang dihias dengan bunga dan tanaman plastik.

Untuk itu, pemerintah harus bisa menyesuaikan kebutuhan penduduk, misalnya gedung kantor untuk lapangan pekerjaan dan rumah sebagai hunian. Meski begitu, pemerintah juga perlu menata Kota Jakarta lebih baik.

"Kalau tertata, ya pastinya harus mengikuti peraturan yang ada," tambah Sigit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau