"Ketika ribuan ruko dibangun hanya terkonsentrasi di satu titik, itu menjadi satu persoalan. Ketidakmerataan antara timur dan barat ini adalah masalah bagi Jakarta," ujar Dr Lukman Purnomosidi, Ketua Kehormatan REI, pada diskusi "Ayo Membangun Jakarta: Membangun Sinergi dengan Seluruh Stakeholder untuk Pembangunan Jakarta yang Lebih Baik", di acara Indonesia Property Expo, JCC, Sabtu (21/2/2015).
Menurut dia, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus meningkatkan penataan ruang di sepanjang Jakarta Outer Ring Road (JORR). Saat ini di sepanjang tol itu sudah banyak dibangun hunian vertikal dan perkantoran.
"Padahal, fasilitas pendukung termasuk pusat ritel-ritel baru dibutuhkan di situ. Karena itu, Jakarta perlu memeratakan lokasi-lokasi ritel supaya tidak terkonsentrasi di pusat kota," ujar Ketua Umum REI periode 2004-2007 itu.
Lukman menambahkan, pemerintah harus dapat mengontrol arah pembangunan di Jakarta yang terlalu mengikuti kemauan pasar. Jika pasar membidik pusat, maka pembangunan hanya akan difokuskan di pusat.
"Apakah pengembang harus mengikuti itu. Apakah kita tidak mau mengikuti pengembangan wilayah sesuai aturan tata ruang," ujarnya.
Menurut dia, sah saja jika pengembang mengikuti pasar. Tetapi, sebagai kontrolnya, pemerintah harus melakukan pendekatan pengembangan wilayah sesuai tata ruangnya agar gap antara timur dan barat bisa terkejar.
"Saatnya memprioritaskan Jakarta Timur, misalnya dengan infrastruktur wilayah yang cukup. Pemda juga harus beri insentif bagi pengembang yang mengembangkan kawasan ini," katanya.
Pembicara lainnya, Bambang Susanto dari Masyarakat Transpoprtasi Indonesia (MTI), senada dengan Lukman. Menurut dia, transportasi dan tata ruang adalah dua sisi mata uang. Jika satu sisi tidak beres, sisi yang satunya juga akan rusak.
"Di Jabodetabek ini tidak ada yang bisa mengontrol ringroad. Tengah kota itu sudah harus steril dari kendaraan sebanyak mungkin. Berapa pun jalan dibuat, bahkan tujuh lapis ke atas sekali pun, bakal tetap macet. Jalan Layang Non Tol (JLNT), begitu dibuka, baru tiga menit langsung macet," kata Bambang.
Bambang mengatakan, banyak pemda di Jabodetabek tidak mampu mengelola tata ruang sehingga transportasi dan lalu lintas amburadul. Dia mengakui, hanya di Indonesia saja orang keluar dari jalan kampung bisa langsung masuk ke jalan arteri.
"Jabodetabek itu 26 juta trip per hari. Itu tinggi sekali. Waktunya hampir sama, pagi dan sore, dengan kendaraan pribadi, sementara ruangnya atau jalannya sama. Semua orang berduyun-duyun keluar ramai-ramai di waktu yang sama," ujarnya.
Bambang mengatakan jika ada satu bandara besar di timur Jakarta sudah terbangun, hal itu bisa sedikit memecahkan masalah kemacetan. Menurut dia, bandara Halim Perdanakusuma saat ini sangat diminati. "Sudah saatnya kita punya bandara yang multisystem seperti di Jepang atau Amerika. Itu khusus di kota besar, untuk mengikuti pola perkembangan ruang kotanya," kata Bambang.
Selain itu, wacana pengembangan river way juga menarik. Upaya itu pernah dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, meskipun nasibnya hanya sebentar. Saat ini, potensi Cikarang Bekasi Laut (CBL) bisa dijalankan dan sangat bagus sekali prospeknya.
"Di BSD sekarang mulai tak karuan dengan meningkatnya pembangunan apartemen, belum lagi Cikarang dan Karawang. Kira-kira orang mau naik apa nanti, ini harus dipikirkan dari sekarang," ujarnya.