Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Di Jakarta, yang Hitam Bisa Jadi Putih"

Kompas.com - 12/01/2015, 09:44 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Tak hanya London, Inggris, yang mengalami perubahan besar-besaran dalam beberapa tahun terakhir. Jakarta, Indonesia, pun mengalami hal serupa. Pembangunan properti komersial dan pencakar langit terjadi di beberapa wilayah secara masif.

Pembangunan properti tersebut tidak saja di kawasan yang memang diperuntukan sebagai zona komersial, melainkan juga di zona perumahan vertikal dengan koefisien dasar bangunan (KDB) rendah macam Cempaka Putih, atau di kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Senayan.

Di kawasan-kawasan tersebut justru sedang berlangsung pembangunan properti komersial multifungsi bertingkat tinggi seperti Holland Village, Sentosa Residences Jakarta, dan Gateway Park Senayan.

Menurut urbanis Bambang Eryudhawan, perubahan peruntukan sangat mungkin terjadi. Karena perencanaan kota di Indonesia, terlebih Jakarta, masih serba kabur, gelap dan jauh dari transparansi.

"Di Jakarta, yang hitam bisa jadi putih, yang putih bisa jadi hitam tanpa ada kejelasan. Perubahan warna peraturan zonasi (PZ) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) bisa berubah seketika. Kita pun malas membicarakan hal itu," ujar Bambang kepada Kompas.com, Sabtu (10/1/2015).

Khusus mengenai kawasan GBK Senayan, Bambang menyebut, sebagai bagian dari ibu kota Republik Indonesia, bukan semata-mata hanya bagian dari provinsi DKI Jakarta. Oleh karena itu, perencanaan di GBK seharusnya digarap bersama antara pemerintah pusat dan daerah.

"Saya melihat perkembangan sekarang, justru hal ini tidak terjadi. Keduanya main mata dan saling toleransi, dugaan saya begitu, melihat fakta yang ada di lapangan," sebut Bambang.

Dia melanjutkan, meskipun kawasan GBK Senayan sudah menjadi aset kelolaan Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPK GBK), tetap saja mencuat kesan kuat komersialisasi.

"Yang jelas ada kesan, sekali lagi kesan, bahwa manakala kawasan yang dikelola pusat, Pemprov DKI Jakarta bersikap mendua. Kita tahulah, komersialisasi lahan pemerintah pusat menguntungkan pusat dan daerah, tapi belum tentu menguntungkan kota dan atau penduduknya," tandas dia.

Kendati begitu, Bambang menegaskan, tidak ada yang salah dengan Badan Layanan Umum (BLU) PPK GBK yang harus menghasilkan keuntungan dari komersialisasi lahan GBK. Kecuali, tampaknya belum tampak niat untuk menahan diri dari godaan investasi properti dengan mengorbankan ruang terbuka hijau (RTH) GBK.

Sementara menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro, fenomena konversi atau alihfungsi kawasan di Jakarta, disebabkan PZ dan RDTR saat ini yang rentan terhadap risiko "mis-interpretasi" atau kesalahan menerjemahkan rencana ke dalam implementasi.

"Padahal RDTR dan PZ DKI Jakarta merupakan produk RDTR pertama di Indonesia, sebagai amanat UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. Seharusnya Jakarta mengapresiasi produk ini dengan segala keterbatasannya. Justru, dengan perkembangan sekarang, perlu dilakukan usaha penyempurnaan dan pengendalian yang meneru," papar Bernardus.

Idealnya, lanjut Bernardus, RDTR dan PZ ini kemudian diterjemahkan kedalam Urban Design Framework dan Urban Design Guidelines dalam skala persil 1:1.000, sehingga proses implementasi bisa tepat-tafsir.

"Ada beberapa kelemahan yang kasat mata misalnya pemanfaatan ruang bawah tanah, zonasi kawasan eco-region 8 mil di kepulauan Seribu dan areal reklamasi serta pengaturan massa dan skyline per kawasan di koridor-koridor utama. Juga masalah gentingnya land subsidence rate seperti di kecamatan Penjaringan, yang menyebabkan produk rencana harus bisa mengantisipasinya," tuturnya.

Banyak juga ditemukan pengaturan zonasi yang sangat rentan diterjemahkan ketetapannya, maupun permainan perubahan warna dan pemutihan di lapangan. Bernaruds mencontohkan  zona perumahan vertikal KDB Rendah Cempaka Putih, atau ona perkantoran, perdagangan dan jasa KDB Rendah.

"Harus ada ketetapan dalam skala detail per persil, dan diberikan arahan visualisasi koefisien lantai bangunan (KLB) dan massa bangunan per lot. Pasalnya, hal ini sangat rentan terhadap “tawar menawar” perubahan dan penalti (denda) di lapangan," tandas Bernardus.

DKI Jakarta, imbuhnya, mempunyai tantangan besar dalam menyempurnakan 44 RDTR dan kawasan khusus dan strategisnya. Proses menuju ke Urban Design Framework dan Guidelines harus berjalan seiringan dengan proses partisipasi masyarakat.

"Untuk itu, Gubernur DKI harus segera merevisi satu kata dalam RTRW Jakarta 2030, yang sudah salah kaprah dan sama sekali tiak tepat dalam visi nya sebagai kota dunia. Perubahan kata shareholder untuk pemangku kepentingan, yang secara tidak beralasan dipertahankan oleh penyusunnya," kata Bernardus.

Kata share holder, sangat tidak masuk akal, karena memberikan semangat kapitalistik dan pro modal. Besarnya saham, jangan diartikan hanya besarnya tanggung jawab dan kepemilikan. Namun semakin besar saham satu pihak, maka hak veto dan pengaruh pihak tersebut terhadap kebijakan pun semakin besar.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau