Namun, sebelum bisa menghasilkan, kualitas masing-masing manusianya harus "dibangun" terlebih dahulu. Hal ini bisa dilakukan secara formal, maupun informal.
"Membangun ekonomi kreatif itu membangun orangnya. Yang dibangun adalah nilai, bukan fisik uangnya, tapi manusianya. Dengan terbangun, manusia menjadi inovatif, kreatif, karena ada nilai di dalamnya, punya nilai dan prinsip ingin maju, mandiri, berani, tidak malas, tidak ingin jadi parasit. Hal-hal ini yang harus dibongkar," ujar kepada Kompas.com terkait gagasan "kota kreatif", di Jakarta, Sabtu (28/6/2014).
Menurut Yayat, tanpa nilai dan karakter, masyarakat menjadi robot dan sekadar menjadi pengguna mesin-mesin hasil kreativitas negara lain. Untuk menjadi bangsa kreatif, bisa dicapai lewat pendidikan.
"Pendidikan harus didorong. Sekolah-sekolah kejuruan, seperti tata boga, tata niaga, sekolah-sekolah yang membangun keterampilan. Kalau tidak bisa, maka kita bangun lembaga kreatif non perguruan tinggi di luar pendidikan. Jaman dulu ada balai latihan. Sekarang, balai itu harus diperbanyak. Masyarakat yang harus memulai," kata Yayat.
Generasi entrepreneur
Kepribadian kuat dan kemampuan yang mumpuni pada masing-masing anggota masyarakat pun bisa meningkatkan angkatan kerja. Yayat menyebutnya dengan "memunculkan entrepreneur muda baru" dalam industri kreatif.
Hal ini sangat penting, lanjut Yayat, sadar atau tidak, "generasi entrepreneur" tersebut sebenarnya punya andil membangun kota-kota kreatif di Indonesia. Dengan tumbuh dan menjamurnya kota-kota seperti ini, daya saing Indonesia akan semakin kuat.
"Kota kreatif itu berhubungan dengan daya saing. Jika dibandingkan dengan Korea atau Jepang, kita kalah dalam hal teknologi. Namun, ekonomi lokal kita luar biasa. Kerajinan tangan kita, sangat luar biasa. Kalau dikemas dengan wadah seperti pameran Inacraft, itu akan menunjukkan bagaimana kemampuan ekonomi kreatif kita," pungkas Yayat.