JAKARTA, KOMPAS.com - Potret kota yang serba suram dalam status ”setengah mati” terdapat di banyak negara, terutama di dunia dan negara berkembang. Kehidupan kota tidak jarang digambarkan sangat keras dan kejam dengan berbagai bentuk kejahatan dan kesulitan hidup. Jeritan serta rintihan kemiskinan, crying poverty, terdengar jelas di balik kantong-kantong permukiman kumuh dan liar.

Krisis besar memang sedang melanda kota-kota di dunia yang menimbulkan keprihatinan mendalam tentang nasib kehidupan umat manusia di masa depan. Namun, arus balik mulai terjadi pada akhir 1970-an di Eropa, yang kemudian berkembang menjadi gerakan global sejak 1980-an, tentang pentingnya menciptakan kota yang aman dan nyaman, tetapi dinamis dan produktif.

Proses pembangunan kota yang aman dan nyaman, yang semakin lazim disebut kota kreatif, sengaja diangkat harian Kompas dalam edisi khusus ini terkait ulang tahun ke-49 yang jatuh pada 28 Juni ini sebagai tantangan yang harus dijawab. Pengembangan kota kreatif tidak lagi bertumpu pada pekerjaan tangan, opus manuale, tetapi pada pekerjaan pikiran, digerakkan oleh gagasan dan visi yang berdaya jangkau jauh ke depan. Di luar ide dan visi, warisan budaya yang bernilai luhur sangat diperlukan dalam pengembangan kota kreatif.

Tidak berlebihan jika pengembangan kota kreatif dianggap pula sebagai renaisans, melahirkan kembali kekuatan dan bakat yang dimiliki para pemangku warisan budaya. Nilai luhur budaya yang sudah disosialisasi dan diinternalisasi dapat diekspresikan dalam kegiatan kreatif yang berharga ekonomis.

Kekuatan ide

Seperti gerakan perubahan apa pun, upaya menciptakan kota kreatif mungkin bermula dari segelintir orang, bahkan dari seorang diri, tetapi mampu mengartikulasikan tuntutan perbaikan dan perubahan. Gerakan yang bermula pada satu orang atau segelintir orang kemudian membesar yang melibatkan para aparatur pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pebisnis, dan masyarakat umum. Semua merasa terpanggil untuk melakukan pembenahan terhadap kehidupan kota.

Kota dirancang atau ditata ulang dengan berorientasi pada penyediaan prasarana dan sarana untuk memudahkan mobilitas manusia, barang, dan jasa tanpa harus merusak lingkungan. Secara dialektis, kota kreatif membuat para penghuninya juga menjadi kreatif. Hanya dalam lingkungan hunian kota yang dinamis, bergairah, dan kreatif, warga dapat mengembangkan diri secara leluasa.

Sebaliknya, kota yang tidak kreatif membuat penghuninya cenderung pasif, tidak mampu beradaptasi dengan perubahan. Kegagalan beradaptasi membuat kota menjadi korban, berkembang liar. Kota semacam ini sama sekali tidak kondusif bagi proses pengembangan hidup yang lebih kreatif dan dinamis.

Tuntutan pembenahan hunian perkotaan menjadi keniscayaan, lebih-lebih karena kota akan menjadi hunian utama manusia di masa mendatang. Desa-desa akan menjadi sepi karena ditinggal pergi para penghuninya. Pergeseran pusat hunian itu terlihat jelas pada data PBB yang menegaskan, memasuki abad ke-21, jumlah penduduk dunia yang hidup di perkotaan lebih banyak ketimbang di pedesaan.

Kecenderungan itu juga terlihat di Indonesia karena penduduk kota saat ini sudah 54 persen, sementara pedesaan 46 persen. Sudah diprediksi jumlah penduduk kota akan mencapai 56 persen tahun depan dan jumlah itu diperkirakan terus meningkat. Pengembangan kota kreatif menjadi keniscayaan bagi Indonesia!


Penulis: Rikard Bangun