KOMPAS.com - Investor dan pengembang raksasa Tiongkok secara agresif masuk pasar properti Malaysia bukan tanpa alasan.
Mereka membawa kapital besar ke negeri jiran ini karena kondisi politiknya terhitung stabil, biaya masuk yang rendah, kesamaan budaya, bahasa, dan juga sebagian besar dipicu oleh perlambatan pasar properti di Tiongkok sendiri.
Sementara Singapura tidak menjadi tujuan utama karena harga lahan mahal, demikian pula dengan ongkos konstruksi, pajak, bea masuk, dan terpenting kondisi pasar propertinya belum pulih.
Sedangkan Vietnam dihindari karena kerusuhan yang dipicu sentimen anti-Tiongkok yang terjadi baru-baru ini. Sehingga, negeri Indochina ini dianggap memiliki risiko politik sangat tinggi dan tidak aman bagi investasi properti.
"Berinvestasi properti di Vietnam terlalu berisiko, menyusul kerusuhan besar yang terjadi akhir-akhir ini. Risiko tidak sepadan dengan nilai investasi," ujar salah satu pengembang Tiongkok seperti dikutip The Star.
Adapun Filipina tidak dipilih karena negara Tiongkok tidak memiliki hubungan diplomatik dan politik yang kondusif selama bertahun-tahun. Tentu saja, hubungan tidak bersahabat kedua negara ini memengaruhi ekspansi bisnis para pengembang.
Sebelumnya diberitakan, arus kapital pengembang Tiongkok deras masuk ke Malaysia, khususnya kawasan pertumbuhan bisnis baru Iskandar Malaysia, Johor. Para pengembang tersebut akan membangun beberapa megaproyek di atas lahan reklamasi raksasa, Forest City seluas 2.000 hektar.
Tercatat Country Garden Holdings Co Ltd yang berkolaborasi dengan Kumpulan Prasarana Rakyat Johor (KPRJ). Mereka bakal membangun hunian mewah, properti komersial pusat belanja, resor, hotel, perkantoran, taman, destinasi rekreasi, dan lain-lain.
Forest City digadang-gadang bakal menjadi proyek reklamasi terbesar di Malaysia dan dirancang sebagai destinasi wisata utama. Lokasinya yang berdekatan dengan persimpangan jalur kedua (second link) Selat Johor menuju Singapura, membuat pemerintah negara kota tersebut kegerahan.
Pemerintah Singapura, melalui nota diplomatik, bahkan telah meminta Malaysia untuk mengkaji lebih serius analisis dampak lingkungan (Amdal) proyek tersebut karena dianggap akan berdampak besar terhadap lingkungan lintas batas.
Sementara pemerintah Malaysia, justru menjamin pembangunan reklamasi aman bagi lingkungan karena telah memenuhi Amdal sesuai yang disyaratkan Undang-undang Kualitas Lingkungan Tahun 1974.