Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekali Lagi... Jokowi Harus Jeli Mengkaji Reklamasi Pantai!

Kompas.com - 28/02/2014, 16:57 WIB
Tabita Diela

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Chairman Indonesia Chapter untuk Eastern Regional Organizational for Planning and Human Settlements (EAROPH), Bernardus Djonoputro, menyambut baik keputusan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk tidak memperpanjang izin reklamasi Pantai Utara Jakarta dan mengkali kembali rencana reklamasi itu. Bernardus mengatakan, masih banyak hal perlu disiapkan oleh DKI Jakarta dalam menyambut ASEAN Common Community.

"Saya minta gubernur mengkaji feasibility dari sebuah kawasan baru yang berada di teluk, di mana 13 sungai bermuara. Kita harus ingat, 13 sungai ini melalui 12 juta orang," ujar Bernardus.

Komentar Bernardus ini dilontarkan dalam kapasitas membicarakan kesiapan Indonesia, khususnya DKI Jakarta dalam menyambut ASEAN Common Community 2015. Meski Sekretaris Jenderal ASEAN H.E. Le Luong Minh mengungkapkan bahwa ASEAN Community 2015 lebih merujuk pada sebuah proses ketimbang tujuan akhir, namun DKI Jakarta sudah harus bersiap sejak saat ini.

Bernardus juga mengungkapkan, alih-alih mereklamasi pantai, sebenarnya masih ada hal lain yang lebih mendesak untuk segera dilakukan.

"Menurut saya, yang pertama kali harus dilakukan sambil mengkaji itu adalah apakah kita sudah menjalankan kaidah lainnya, seperti moratorium pengeboran air. Itu sangat penting. Kalau kita mau menyetop penurunan tanah, kita harus segera berhenti mengebor air," ujarnya.

Sebelumnya, peneliti Pusat Penelitian Geologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jan Sopaheluwakan pernah mengingatkan bahwa jika air tanah terus diambil, wilayah Jakarta Utara bisa turun -6,6 meter.

Untuk itulah, Bernardus menyatakan tidak setuju dengan reklamasi pantai yang dilakukan secara sembrono. Ada enam kecamatan di pantai utara Jakarta yang sangat rentan terkena akibatnya.

"Saya tidak setuju reklamasi. Menurut saya, reklamasi yang dilakukan sembarangan justeru berbahaya karena mengubah tatanan ekosistem di situ. Kemudian, yang kedua harus dilihat bagaimana treatment atau perlakuan kepada kaum yang paling tidak diuntungkan di sini, yaitu kalangan miskin dan kalangan nelayan di pantai utara," ujarnya.

Menurut Bernardus, memang bisa dilakukan pemindahan. Namun, hasil studinya menyatakan bahwa tidak semua penduduk setempat rela pindah dan mampu bertahan dengan maksimal di tempat lain.

"Tapi, studi yang kami lakukan di utara Jakarta, di Muara Karang, 50 persen mungkin mau dipindahkan karena 50 persen itu orang darat. Tapi, 50 persen itu nenek moyangnya orang laut. Jadi, walau bagaimana pun, mereka ingin tinggal di situ," tekannya.

Sejauh ini, Bernardus belum melihat adanya rencana komprehensif mengenai perlakuan terhadap kaum yang rentan tersebut. Reklamasi mampu mengakibatkan efek besar, namun sejauh ini belum dianggap serius.


Pengembangan vertikal

Menurut  Bernardus, Jakarta harus berkembang ke atas, bukan ke utara. Dengan kata lain, ekstensifikasi tanah yang sudah tersedia sekarang bisa dilakukan dengan pembangunan vertikal.

"Ekstensifikasi dari tanah yang sekarang itu jadi vertikal. Saya menengarai, reklamasi ke utara itu jalan keluar para developer lantaran hanya kesulitan mencari tanah 200 hektar di Jakarta. Tapi, kalau dikumpul-kumpul, 200 hektar itu ada. Saya rasa sangat disayangkan kalau hal itu kemudian mengorbankan lingkungan di utara," ujarnya.

Selain mengembangkan secara vertikal, Bernardus juga lebih mendukung pengolahan air dari 13 sungai yang bermuara di Pantai Utara Jakarta.

"Saya sangat mendukung treatment air di 13 sungai ini supaya air yang keluar dari Pulau Jawa itu kualitasnya membaik. Setelah itu, baru kita pikirkan bagaimana Teluk Jawa ini bisa dibangun, apakah dibangun giant seawall dan sebagainya," tandas Bernardus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau