JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak sengketa antara pengembang dan konsumen yang timbul akibat minimnya pemahaman konsumen terhadap klausul perjanjian jual beli.
Alhasil, mereka baru mengetahui ada persoalan pada kemudian hari setelah perjanjian tersebut ditandatangani.
Menurut Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsih, minimnya pemahaman tak jarang membuat daya tawar konsumen lemah.
Baca juga: Kasus Pengembang Properti vs Konsumen, Terbesar Ketiga Sepanjang 2017
Selama ini pengembang selalu menyediakan kontrak perjanjian baku sebelum bertransaksi dengan calon pembeli.
Di dalam klausul yang ada, pengembang memuat sejumlah pengecualian yang tak jarang merugikan konsumen bila tidak dicermati.
"Isinya, konsumen tidak bisa melakukan suatu perubahan," kata Sularsih kepada Kompas.com, Selasa (17/7/2018).
Bagi konsumen kritis, klausul yang berpotensi merugikan tentu akan diprotes. Meskipun, sering kali protes yang diajukan tidak akan mengubah klausul.
Namun setidaknya, mereka telah memahami bahwa ada hal yang merugikan, sehingga dapat mengambil langkah preventif.
Persoalan justru timbul ketika konsumen cenderung pasif dan tidak mau membaca isi perjanjian.
Mereka hanya tahu tanda tangan klausul perjanjian. Setelah timbul masalah, mereka baru paham bahwa ada aturan pengecualian.
Sebagai contoh, karena kondisi ekonomi, calon pembeli terpaksa menghentikan sepihak pembelian properti dari pengembang.
Namun ada klausul kewajiban menyerahkan uang muka 20 persen di dalam perjanjian. Bila sebelum jumlah tersebut dicapai calon pembeli menghentikan sepihak, uang muka hangus.
"Kalau harga unit Rp 1 miliar, dia baru bayar Rp 50 juta atau Rp 100 juta, uangnya hangus karena belum capai 20 persen atau 50 persen. Ini tidak boleh," kata dia.
Sularsih pun mengingatkan kepada setiap pembeli hunian, baik rumah tapak maupun apartemen, untuk memahami setiap klausul jual beli yang diberikan pengembang.
Sebab, tidak sedikit pengembang yang tidak memperlakukan konsumen mereka layaknya mitra bisnis seimbang. Lain halnya ketika pengembang berurusan dengan sektor perbankan dalam hal pembiayaan.
"Itu baru mereka bargaining-nya sama. Ketika itu B to B, itu mereka punya bargaining yang sama. Maka dari itu, pemerintah juga perlu mengawasi kontrak bakunya," cetus Sularsih.
Untuk diketahui, YLKI menerima 60 aduan terkait persoalan properti sepanjang 2017. Jumlah tersebut menempatkan urusan properti ini pada posisi ketiga terbanyak, setelah jual beli daring dan perbankan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.