Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Pengembang Properti vs Konsumen, Terbesar Ketiga Sepanjang 2017

Kompas.com - 17/07/2018, 11:24 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tidak dipenuhinya hak konsumen dalam membeli apartemen, masih menjadi masalah utama yang dihadapi industri properti Tanah Air.

Kasus terbaru yakni perselisihan antara konsumen dengan pengembang LA City, PT Spektra Properti Indonesia.

Meski banyak konsumen yang sudah patuh membayar cicilan, hingga kini unit apartemen yang dijanjikan tak kunjung diserahkan.

Data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menunjukkan, dari 642 aduan yang diterima, 60 di antaranya terkait persoalan properti.

Itu artinya, secara persentase, aduan ini mencapai 9 persen dan sekaligus menempatkannya pada urutan ketiga terbesar setelah belanja daring dan perbankan.

"Pengaduan tentang properti memang masih banyak," ungkap Pengurus Harian YLKI Sularsih kepada Kompas.com, Selasa (17/7/2018).

Dari 60 aduan yang masuk, pembangunan menjadi permasalahan terbanyak yang diadukan hingga mencapai 23 laporan.

Posisi berikutnya yakni refund/pengembalian (17 aduan), keterlambatan serah terima (10 aduan), dokumen dan kualitas bangunan (masing-masing 7 aduan).

Sularsih mengatakan, masih banyaknya persoalan sektor properti lantaran kurangnya pengawasan maksimal dari pemerintah.

Para pelaku usaha pada sektor ini, sebenarnya telah memahami bahwa sudah ada aturan ketat yang mengatur hak dan kewajiban pengembang dan konsumen.

Namun, aturan tersebut tidak dijalankan maksimal lantaran lemahnya pengawasan pemerintah.

Hal lain, perbedaan sikap antara pengembang dengan konsumen. Sebagai pelaku usaha, pengembang semestinya sadar bahwa konsumen memiliki posisi tawar yang tinggi di dalam bisnis mereka.

Namun yang terjadi, pengembang justru memberlakukan sistem kontrak jual beli yang sering kali merugikan konsumen.

Kontrak tersebut sudah diatur sedemikian rupa, sehingga meski ada konsumen kritis sekali pun, mereka tidak bisa mengkritisinya.

"Tetapi kalau antara B to B, misalnya antara bank dan developer, itu mereka bargaining yang sama. Itulah makanya pemerintah perlu mengawasi kontrak bakunya," tuntas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau