Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yusa Cahya Permana
Perencana Transportasi

Perencana transportasi lulusan Departemen Teknik Lingkungan dan Sipil, Universitas Gajah Mada (UGM) dan Institute for Transport Studies, University of Leeds, Inggris. 

Yusa juga merupakan Co-Founder Forum Diskusi Transportasi Jakarta (FDTJ). Saat ini bekerja sebagai Konsultan Transportasi dan menjabat Ketua Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) DKI Jakarta.

 

Sebuah Titik Kritis Transformasi Angkutan Umum

Kompas.com - 08/02/2018, 22:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kritis. Inilah kata yang bisa menggambarkan gentingnya kondisi angkutan umum di Indonesia baik di perkotaan maupun pedesaan. Di hampir semua kawasan, angkutan umum berada dalam kondisi yang kian memburuk atau stagnan.

Hal ini terindikasi dari persentase pengguna angkutan umum dari tahun ke tahun yang cenderung menurun dengan perkecualian pengguna KRL di Jabodetabek yang meningkat, dan penumpang BRT di Jakarta yang relatif stabil.

Sementara di sisi lain, kendaraan bermotor pribadi justru semakin meningkat populasi, dan  penggunaannya. Akibatnya, kemacetan dan polusi udara kian parah, kualitas hidup dan lingkungan merosot tajam.

Baca juga : Kota, Angkutan Umum, Kendaraan Pribadi, dan Dilema Transportasi

Pertanyaan yang harus diajukan adalah mengapa hal ini bisa terjadi?

Melihat sejarahnya, sesungguhnya angkutan umum pernah mengalami masa jaya ketika perekonomian Indonesia mulai berkembang. Periode 1970-an hingga akhir 1980-an ketika belum banyak masyarakat yang memiliki akses terhadap kendaraan bermotor pribadi.

Antrian angkot nomor trayek M 08 jurusan Tanah Abang - Kota mengantri untuk berangkat dari Jl. Jatibaru Bengkel - kolong flyover Stasiun Tanah Abang Lama pada Senin (5/2/2018).Kompas.com/Rima Antrian angkot nomor trayek M 08 jurusan Tanah Abang - Kota mengantri untuk berangkat dari Jl. Jatibaru Bengkel - kolong flyover Stasiun Tanah Abang Lama pada Senin (5/2/2018).
Faktor ekonomi, logistik maupun keterbatasan akses terhadap pembiayaan, menjadikan angkutan umum sebagai primadona pergerakan masyarakat.

Namun, ketika perekonomian kian membaik terutama pasca krisis ekonomi pada awal 2000-an, situasi berbalik.

Dengan perbaikan kondisi infrastruktur jalan, kemudahan logistik ke seluruh pelosok, perbaikan dan peningkatan ekonomi, plus kemudahan fasilitas keuangan, populasi dan penggunaan kendaraan bermotor pribadi pun melonjak terutama di kawasan Jabodetabek dan Pulau Jawa.

Masyarakat dengan ekonomi yang meningkat, dan terdidik, makin sadar akan hak dan kebutuhannya. Tuntutan perbaikan layanan yang ingin didapatkan juga bertambah. Demikian pula dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan pergerakannya.

Namun, ketika kebutuhan pergerakan tersebut tidak dapat diakomodasi dengan baik, mereka pun dengan mudah dan cepat beralih ke kendaraan pribadi.

Sejumlah bus metromini masih berada di lapangan tempat penampungan kendaraan di pool Rawa Buaya, Jakarta Barat, Selasa (15/3/2016) siang. Kebanyakan bus metromini yang dikandangkan merupakan hasil penertiban Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta pada Desember 2015 lalu. Andri Donnal Putera Sejumlah bus metromini masih berada di lapangan tempat penampungan kendaraan di pool Rawa Buaya, Jakarta Barat, Selasa (15/3/2016) siang. Kebanyakan bus metromini yang dikandangkan merupakan hasil penertiban Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta pada Desember 2015 lalu.
Kendaraan pribadi menawarkan kemudahan pergerakan, fleksiblitas, serta suka tidak suka telah sukses diposisikan sebagai lambang kemakmuran sekaligus lonceng kematian industri angkutan umum.

Fenomena ini diperparah dengan belum siapnya para pelaku industri angkutan umum dalam menangkap perubahan preferensi konsumen serta kondisi pasar dengan cepat dan tepat.

Pelaku industri angkutan umum terlihat lambat merespon perubahan pola pasar terutama di kawasan perkotaan dan pedesaan yang masih mengandalkan bus serta minibus yang kondisinya serta layanannya tidak berubah banyak.

Dapat dikatakan hanya industri taksi yang pada awalnya masih dapat mengikuti perubahan pola pasar ini meskipun pada akhirnya tak luput dihantam oleh krisis perekonomian 2009-2010 yang diperparah dengan kemunculan angkutan berbasis aplikasi.

.. .
Kendati demikian, pelaku industri angkutan umum tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena sejak bertahun-tahun mereka dibiarkan oleh pemerintah dan cenderung mencari cara bertahan hidup sendiri.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau