KompasProperti - Alek (25) terhitung lulusan perguruan tinggi (fresh graduate) yang beruntung. Begitu lulus kuliah dua tahun lalu, dia langsung diterima bekerja dan kini sudah masuk tahun kedua menjadi karyawan di perusahaan swasta tempatnya mengais rezeki.
Awalnya, Alek memang tak terpikir membeli hunian. Tiap menerima gaji, yang muncul di pikirannya adalah jalan-jalan ke tempat-tempat baru. Semua demi pengalaman baru, mulai menjajal tempat wisata, kuliner sampai berburu oleh-oleh antik.
Kini, setelah hubungan dengan sang pacar menjurus serius ke jenjang pernikahan, pikiran untuk bisa membeli rumah mulai terbersit di benaknya. Itu pun baru sekadar keinginan, belum ada realisasi apapun.
"Untuk cicilan bukan masalah, tapi buat uang mukanya yang susah. Enggak punya pegangan," kata Alek, yang mengistilahkan tabungan dengan "pegangan".
Dihitung-hitung, lanjut dia, dengan penghasilan kurang dari 6 juta atau lebih tepat disebut nyaris menyentuh angka Rp 6 juta, Alek pesimistis bisa punya rumah dalam waktu setahun atau dua tahun ke depan.
"Kemarin tanya-tanya ke pengembang, uang mukanya sekitar Rp 45 jutaan. Masih jauh dari cukup," ujar dia.
Dengan harga rumah yang diincarnya sekitar Rp 650 jutaan, Alek mengaku hanya pusing untuk mencari uang muka. Urusan cicilan, menurut dia, tidak masalah alias masih tercukupi.
Sempat terpikir mencari rumah subsidi, lanjut Alek. Sayangnya, gaji yang ia terima setiap bulan membuat Alek tidak "lulus" syarat untuk mendapatkan rumah subsidi. Penghasilannya di atas syarat penerima rumah subsidi yang gaji pokoknya antara Rp 2,5 juta sampai Rp 4 juta per bulan.
Sebaliknya, untuk bisa mendapatkan rumah nonsubsidi atau komersial, gajinya tak cukup, terutama dengan rata-rata keharusan membayar uang muka (down payment). Artinya, dengan gajinya saat ini yang terhitung masuk standar "lumayan", Alek tetap belum bisa punya rumah dalam waktu setahun atau tahun ke depan.
"Mungkin, satu-satunya jalan pinjam bank dulu untuk uang muka, tapi akan ada dua cicilan nanti, berat juga pasti ujung-ujungnya," ucapnya.
Alek terhitung generasi milenial atau zaman now yang baru lulus dan punya penghasilan bulanan. Namun, ia tak sendiri punya pengalaman mentok untuk bisa punya hunian alias "maju kena mundur kena" atau beli rumah subsidi tidak bisa, beli rumah komersial juga tak sanggup.
Ini persis seperti yang pernah dipaparkan Kompas Properti awal bulan lalu, bahwa kecenderungan perubahan gaya hidup sedang melanda generasi milenial Indonesia usia 25-35 saat ini. Mereka lebih mementingkan kegiatan leisure dan traveling ketimbang membeli rumah.
Paparan tersebut merupakan hasil riset kerjasama Rumah123.com dan Karir.com yang dikemukakan Country General Manager Rumah123.com, Ignatius Untung di Jakarta, Rabu (14/12/2016) lalu. Ungunt mengemukakan, meningkatnya pendapatan, kendati hanya beberapa persen, berkontribusi terhadap perubahan gaya hidup kalangan milenial.
Hal tersebut ditambah pesatnya pertumbuhan internet of things atau IOT, yang membuat aktivitas leisure dan traveling lebih masif. Muaranya, generasi milenial cenderung mengikuti "apapun yang dikatakan media sosial".