Seperti gas buang manusia (maaf), isu tentang tanah tumbuh, kota ramah warga, dan akrobat politik yang menyeret tiang listrik terus terus mengisi ruang-ruang diskusi publik. Tak terasa manfaatnya, tapi tercium kuat di antara kita.
Para ahli pun larut dalam persaingan mengipas-ngipas gas, ada yang menghilangkan baunya, namun banyak yang justru jadi menyebarkan ke ruang-ruang tidak perlu.
Mari satu per satu kita bahas. Lupakan sejenak masalah tiang listrik yang tak aman dari ancaman tabrakan di ibu kota Indonesia ini, lanjutkan saja pada isu yang sedikit terlupakan, pulau buatan!
Berbeda dengan kita, ketika kawasan Marina Financial District di Singapura mulai digulirkan idenya, berbagai diskursus teknis pun bergulir di kalangan pakar, terutama para perencana, insinyur, ahli lingkungan, dan arsitek.
Melalui lorong-lorong naskah akademik dan berlapis-lapis diskusi business case, program peremajaan ruang baru di kawasan premium Singapura itu pun bergulir sampai akhirnya berdiri dengan megahnya.
Sejak Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Bappeda DKI menyusun Jakarta Waterfront City sebagai bagian dari Jabotabek Metropolitan Development Program (JMDP), program penciptaan tanah baru di pesisir utara Jakarta pun terus bergulir.
Sasaran awal program ini yang semula adalah melakukan city beautyfication khususnya di sekitar Sunda Kelapa, pun terus berkembang. Konsep waterfront city itu adalah hasil para pejabat menengah Indonesia melakukan kunjungan kerja ke Belanda untuk melihat Delta Werken dan Lilystad.
Embrio isu hangat pun dimulai, ketika perubahan drastis dilakukan tahun 1995 dengan dibuat ruang pemisah laut dan daratan. Sebelumnya, program ini untuk menyambung dengan daratan. Hal ini diperlukan agar ada pelepasan air.
Kelihatannya sepele. Namun, 20 tahun kemudian, para ahli dan perencana justru terjebak dalam dikotomi sederhana ini. Pasalnya, saat ini ada dua Undang-undang (UU) yang mengawal hal yang sama, melalui dua sudut pandang berbeda.
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur pulau urugan tersebut sebagai lahan objek wajib bagi penyusunan Rencana Tata Ruang yang bermotif daratan.
Sedangkan, adik kandungnya yaitu UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, mengatakan bahwa tanah urugan tersebut adalah pulau kecil di pesisir, yang tanggung jawab dan perencanaan nya menjadi bagian dari pemanfaatan laut dan pulau dengan kriteria rencana zoning yang berbeda.
Pendekatan yang dipakai dalam perkembangan selanjutnya dari proyek lahan baru di utara Jakarta sangat outdated.
Seperti negara-negara Asia lainnya, kita berlomba untuk menciptakan ruang-ruang raksasa, pemanfaatan ruang secara masif, infrastruktur menjadi panglima pembangunan, dan modernitas sebagai filosofi dasarnya.