JAKARTA, KompasProperti – Perkembangan teknologi informasi yang berdampak pada pertumbuhan ritel daring atau online, dinilai bukan menjadi penyebab utama banyaknya ritel konvensional di Indonesia tutup.
Sekali pun diakui, bahwa perubahan gaya hidup masyarakat yang dewasa ini gemar berbelanja secara daring, ditengarai menjadi penyebabnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengatakan, bila biasanya pertumbuhan sektor ritel pada semester pertama dapat mencapai 5-6 persen, tahun ini sumbangan sektor ini hanya 3,7 persen.
Diperkirakan sampai dengan akhir tahun 2017, pertumbuhan hanya di kisaran 7 persen. Padahal tahun lalu, pertumbuhan dapat mencapai 9 persen.
“Ritel modern saat ini lagi under perform. Mudah-mudahan saja (sampai akhir tahun) bisa 7,5 persen. Karena Semester I hanya 3,7 persen, berarti kalau Semester II sama 3,7 persen, maka baru 7,4 persen pertumbuhan ritel. Ini tentu menggambarkan ritel masih bertumbuh tapi melambat,” kata Roy dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (1/11/2017).
Baca juga : Tutupnya Sejumlah Toko Ritel Disebut Bagian dari Strategi Bisnis
Ia mengatakan, di berbagai belahan dunia lain seperti Amerika Serikat dan China, kehadiran ritel daring juga memberikan dampak terhadap sektor ritel konvensional.
Saat ini, pertumbuhan ritel daring di China telah mencapai 11 persen, sementara di Amerika mencapai 12 persen.
“Dengan kata lain masih ada beberapa belanja yang tidak bisa dilakukan secara online, seperti beli ikan segar, kosmetik, sayur mayur. Harus mencoba itu, harus jelas di ritel, selagi itu kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi ritel,” kata dia.
Di Indonesia, ia mengatakan, perubahan gaya hidup masyarakat yang berpengaruh terhadap ritel konvensional, bukan hanya soal gaya berbelanja secara daring.
Baca juga : Meski Ritel Menurun, Penjualan Barang Bebas Pajak Justru Melonjak
Masyarakat kini cenderung gemar menyimpan uang untuk keperluan lain, seperti leisure, travel dan kuliner. Hal itulah yang membuat dana deposit yang disimpan di bank dalam kurun waktu tiga tahun terakhir cukup meningkat.
“Menurut BI (Bank Indonesia) ada kenaikan 2-3 persen, jadi uang lari itu lari ke sana. Kemudian shifting ke kuliner, travel, leisure,” kata dia.
Penyebab lainnya, ia menduga, yakni saat pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla baru memimpin, proses pencairan dana APBN terlambat, yaitu baru pada Juli 2015.
Hal tersebut berdampak terhadap terlambatnya penyaluran dana produktivitas ke masyarakat, sehingga menggerus sektor kelas menengah ke bawah.
“Sektor menengah ke atas karena sudah memiliki pendapatan perkapita di atas 3.000 dollar AS, mereka sudah mengubah pola belanjanya. Costumer behavior, shifting untuk menengah ke atas yang terjadi di Indonesia, sehingga ritel ikut terkena akibat perubahan shifting tersebut,” tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.