"Backlog itu datanya (pemerintah) sudah 13,5 juta unit. Setiap tahun kita butuh lebih dari 800 sampai 900 ribu unit. Yang bisa bisa dipenuhi sampai saat ini 300 ribu unit per tahun. Sisanya kemana, ya di situlah peran negara lewat Tapera," ujar Misbakhun saat berkunjung ke Kompas.com, Selasa (29/2/2016).
Dia mengatakan, sampai saat ini masih terjadi kesenjangan ketersediaan pasokan rumah. Negara tak mungkin mengharapkan sepenuhnya swasta, tapi tetap harus dilibatkan, yang dalam hal ini lewat iuran atau pungutan untuk Tapera tersebut.
"Keberatan pihak swasta atau pengusaha, dalam hal ini yang diajukan Apindo itu kan masalah pungutan. Mereka merasa sudah terbebani banyak pungutan selama ini. Tapi kan
pungutan itu tidak loss, tidak hilang," ujarnya.
"Mereka (pekerja swasta) tetap bisa dapat memanfaatkannya begitu sudah memasukkan iuran, di akhir atau masa pensiunnya, atau mau dipakai renovasi. Memang, yang diutamakan untuk MBR, karena ini prinsip gotong royong. Sistem tabungannya yang kita bangun. Toh, mereka tak kehilangan investasinya," tambahnya.
Seperti diberitakan sebelumnya di Kompas.com, disahkannya Undang-undang (UU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dinilai memberatkan sejumlah pihak, terutama para pengusaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dengan tegas menolak UU Tapera karena menambah beban iuran yang sudah ada, antara lain Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Tak hanya Apindo, asosiasi pengembang Real Estat Indonesia (REI), juga bersuara sama. Mereka kompak menolaknya.
"Apindo dan REI tentu nanti bisa mengawal itu semua, sehingga program ini bisa berjalan baik dan tidak membebani semua pihak," ujar Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Eddy Hussy di Jakarta, Jumat (26/2/2016).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.