Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tinggal di Kawasan Padat Rentan Tertular Penyakit? Kota Ramah Pedestrian Jawabannya

Kompas.com - 16/11/2020, 12:11 WIB
Ardiansyah Fadli,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan kehidupan kota dapat membuat penduduk rentan terhadap penyakit menular seperti tuberkulosis.

WHO menyebut tuberkolosis menular umumnya akibat kota yang padat dan ventilasi yang buruk. Tak hanya itu, penyakit lain yang dapat menular melalui air dan vektor adalah demam berdarah.

Berbeda dengan pernyataan tersebut, UN-Habbit, badan PBB untuk perumahan dan pembangunan perkotaan, mengatakan hidup di perkotaan yang lebih padat justru dapat membantu mencegah penularan penyakit.

Alasannya, karena penduduk memiliki akses yang lebih mudah untuk berobat dan menjangkau fasilitas kesehatan.

"Ya meskipun, tindakan seperti mengisolasi, tinggal di dalam ruangan dan mempraktikkan jarak sosial itu ya lebih sulit dilakukan dalam pengaturan kota yang sangat padat," kata Kepala Program Global Ketahanan Kota UN-Habitat Esteban Leon seperti dikutip Kompas.com dari laman weforum.org, Senin (16/11/2020).

Baca juga: Dunia Berlomba Ciptakan Area Publik Ramah Pandemi

“Namun, kota padat memang memberikan manfaat bahkan dalam krisis (pandemi Covid-19) seperti ini, misalnya akses ke layanan dasar dan perawatan medis,” ujarnya.

Menurutnya, tidak masalah sebenarnya tinggal di kota yang padat, terutama sejauh kota tersebut memiliki konsep, perencanaan dan penataan kota yang baik.

Manfaat dari kota padat yang terencana dengan baik termasuk waktu perjalanan yang lebih singkat, udara yang lebih bersih, dan pengurangan kebisingan serta konsumsi bahan bakar fosil dan energi.

Deretan kafe di kota Paris.Shutterstock Deretan kafe di kota Paris.
Beberapa pemimpin kota padat di dunia diketahui telah berupaya menciptakan komunitas perkotaan yang lebih dekat secara fisik.

Perkotaan yang padat ini dikelola sedemikian rupa menjadi lokasi yang nyaman dan aman terutama untuk mobilitas warganya dalam beraktivitas.

Wali Kota Paris Anne Hidalgo misalnya, ingin membuat kota yang dipimpinnya itu, sebagai "kota 15 menit", atau mobilitas sehari-hari warganya adalah berjalan kaki singkat, bersepeda atau perjalanan menggunakan transportasi umum.

Hal itu dilakukan seperti untuk aktivitas bekerja, bersekolah, bahkan berbelanja memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tak hanya itu, pada 25 Maret, Wali Kota Barcelona Ada Colau pun mengumumkan rencana alokasi anggaran sebesar 4,4 juta euro (4,8 juta dollar AS) untuk membuat kota ramah bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda dengan tetap menerapkan protokol Covid-19.

Anggaran sebesar itu termasuk untuk pelebaran trotoar, pembuatan jalur sepeda tambahan sepanjang 21 kilometer (13 mil) dan jalur jalan pedestrian atau pejalan kaki sepanjang 12 kilometer (7,5 mil).

Sepeda bike sharing Gowes di Monas, Jakarta Pusat.KOMPAS.com/NIBRAS NADA NAILUFAR Sepeda bike sharing Gowes di Monas, Jakarta Pusat.
Sementara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang memberlakukan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi pada 3 Juli 2020 lalu pun turut menyediakan fasilitas sepeda gratis di tempat umum atau Bike Sharing.

Program tersebut ditempuh terutama untuk mendukung penerapan sosial distancing antar warga dan sekaligus mendorong warga Jakarta untuk dapat layanan sepeda sebagai alat trasportasi yang aman di tengah pandemi Covid-19.

Pemprov DKI Jakarta diketahui hingga kini telah menyediakan lebih dari 200 sepeda gratis atau Bike Sharing.

Ratusan sepeda tersebut disebar di sembulan titik lokasi strategis yang umumnya berdekatan dengan akses traportasi publik seperti stasiun dan terminal.

Adapun, sembilan titik lokasi sementara bike sharing, Stasiun MRT Bundaran HI, Halte Bus Pelican Crossing Bundaran HI Sisi Timur, Halte Bus Pelican Crossing Bundaran HI Sisi Barat, Depan Gedung Sinar Mas, Halte Bus Balaikota Sisi Selatan, Stasiun Tanah Abang, Wali Kota Jakarta.

Seorang antropolog medis dari Universitas St Andrew di Skotlandia Christos Lynteris, mengatakan bahwa memperkuat layanan lokal untuk perjalanan akan mengurangi penyebaran infeksi atau virus. Tapi tidak seluruhnya.

Ilustrasi musim gugur.Thinkstockphotos Ilustrasi musim gugur.
"Itu (virus) akan tetap menyebar di sana entah bagaimana - hanya dibutuhkan satu orang untuk menyebarkannya dari satu daerah ke daerah lain dan kemudian Anda tertular komunitas," kata Lynteris.

Namun demikian, dia mengakui bahwa penyakit dan pengendalian penyakit tentu saja memiliki dampak besar terutama bagi perubahan perencanaan suatu kota.

Dia mencontohkan, wabah kolera dan demam kuning yang terjadi di Amerika itu justru berdampak pada perubahan perbaikan penataan kota seperti misalnya pembangunan sistem air limbah bawah tanah dan ruang hijau seperti Central Park di Kota New York.

"Tingkat keparahan penyakit ini mendorong departemen perencanaan kota, teknik, dan kesehatan masyarakat untuk bersatu," katanya.

Karenanya, pandemi Covid-19 dijadikan sejumlah ahli untuk melakukan berbagai terobosan termasuk menata ulang kota sehingga nantinya warga akan terbiasa dengan kebiasaan baru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau