BEBERAPA tahun belakangan ini para pakar perencanaan kota bergelut dengan isu bagaimana merancang dan menata sistem perkotaan Indonesia.
Pasca-pandemi, perkotaan yang identik dengan 'kluster penularan', menjadi semakin relevan dan penting untuk ditata dan dikelola dengan strategi yang tepat bagi penduduknya.
Terdapat dua isu penting terkait sistem perkotaan pasca-pandemi. Pertama aspek perencanaan perkotaan, dan aspek tata manajemen daerah perkotaan. Tentu aturannya harus berbeda.
Di luar isu memberi nama sebuah RUU, beberapa literasi proses RUU untuk perkotaan dilakukan di dua kementerian yaitu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Pada periode lalu, DPR sudah memberikan keputusannya atas RUU Perkotaan yang diajukan Kemendagri untuk mengatur isu pengelolaan perkotaan melalui level Peraturan Pemerintah saja.
Sebuah keputusan yang tepat dan sangat fundamental untuk urusan pengelolaan daerah perkotaan.
Masalah kita sekarang adalah bagaimana proses perencanaan daerah perkotaan. Apabila kita tengok kebijakan perkotaan kita, akan dihadapkan pada isu koordinatif yang sangat pelik.
Bappenas, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dan Kemendagri masing-masing punya solusi sendiri.
Karena itu kita masih belum memiliki strategi yang tajam dalam menangani isu perencanaan sistem kota-kota kita.
Perencanaan tata ruang, perencanaan pembangunan, aturan ruang hutan, pesisir, pulau maupun pengendalian, masih terkotak-kotak di berbagai Kementerian.
Tak heran apabila hari ini kita melihat ada RUU yang berbunyi mirip, sedang terus berproses.
Dengan menempatkan kata RUU Perkotaan, maka akan menambah kompleksitas dan potensi tumpang tindih dengan UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU no 25 tahun 2004 tentang Sistem Pembangunan Nasional. Ditambah lagi dengan UU Otonomi Daerah, UU Daerah Pesisir dan seterusnya.
Ini jelas inkonsisten, karena tersirat pemerintah pusat ingin mengatur lokus kota, yang ada di daerah otonom.
Sebagian besar negara-negara yang menjadi acuan para perencana seperti AS, Inggris, negara-negara Commonwealth, pemerintah pusat hanyabmengatur Zoning.
Sedangkan UU kota berada di setiap kota masing-masing.
Dengan proyeksi Pulau Jawa akan menjadi lebih dari 80 persen perkotaan, membuat Indonesia menjadi salah satu kawasan dengan tantangan urbanisasi paling besar di dunia.
Dalam kurun 30 mendatang diperkirakan akan ada 70 juta masyarakat bertransformasi dari pedesaan menjadi urban. Bahkan akan tercipta 60 juta kelas menengah baru.
Itu sama dengan terciptanya dua negara Australia baru! Maka bagi saya, isu urbanisasilah yang harus nya dipikirkan oleh Bappenas.
Ada satu pertanyaan mendasar yang perlu dijawab para perencana kota, terutama perencana yang ada di pemerintah.
Apakah Indonesia kesulitan dan menghadapi masalah dalam mengatasi urbanisasi? Dan apakah kita bisa mencari akar permasalahan nya?
Harus kita jawab. Secara filosofis, sosiologis dan yuridis, untuk mencari dasar Undang-undang.
Dalam Kongres Perencana se-Dunia (ISOCARP) bersama dengan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), di Jakarta, September lalu, tak kurang 700 perencana dari 44 negara meneropong pentingnya negara seperti Indonesia memasukkan agenda urbanisasi dalam skala kepentingan tinggi kebijakan negara maupun pemerintah daerah (pemda).
Untuk itu dibutuhkan negara menata ulang serta memperkuat kelembagaan terkait perencanaan dan isu perkotaan.
Bappenas sebagai Kementerian yang bertanggung jawab atas perencanaan negara, bukan hanya perlu mensinkronisasikan pembangunan dengan tata ruang, namun juga fokus pada peningkatan kemampuan birokrasi di bidang perencanaan untuk mengatasi kecepatan urbanisasi, termasuk mengatasi cepatnya pertumbuhan dan fleksibilitas pembangunan informal.
Tantangan pengelolaan urbanisasi ke depan butuh keterlibatan baik investor maupun para profesional di bidang perencanaan kota, agar pembangunan dapat mengakar pada realities of places yatu potensi dasar suatu tempat.
Dengan demikian, yang diperlukan bukan RUU Perkotaan, yang secara penamaan sangat berkonotasi lokal daerah.
Namun lebih tepat dibutuhkan RUU Urbanisasi, sebuah cara pandang integratif, mengampu isu teknis agenda urban dan menjadi kompas bagi Indonesia untuk mencapai agenda perkotaan baru dan target Sustainable Development Goals yang sudah kita ratifikasi.
Dengan demikian RUU Urbanisasi ini dapat menjadi aturan sejajar yang mensinkronisasikan aspek perencanaan tata ruang dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan aspek perencanaan pembangunan UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Pembangunan Nasional.
Dibutuhkan pula beberapa penyempurnaan kebijakan yang fokus pada hal utama yaitu sistem perkotaan yang seimbang dan berkeadilan, kota layak huni dan inklusif.
Perlu dilakukan reformasi menerus dalam sistem perencanaan Indonesia, melalui proses perencanaan yang terintegrasi, pengendalian dan kepastian hukum yang lebih kuat, bentuk kerja sama antar kelembagaan perencanaan, serta tata kelola metropolitan yang lebih baik.
Terlebih, New Urban Agenda memandang bahwa urbanisasi harus produktif, sebuah cara pandang baru menghubungkan urbanisasi dan pembangunan.
Salam perkotaan!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.