Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Deddy Herlambang
Pengamat Transportasi

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN)

Tumpang Tindih Aturan Transportasi Umum: Kapasitas Dikurangi, Penumpang Tak Diatur

Kompas.com - 12/06/2020, 15:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BARANGKALI kita terkejut dengan keluarnya Surat Edaran (SE) Kementerian Perhubungan  Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pedoman dan Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Transportasi Darat pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru untuk Mencegah Penyebaran Corvid-19.

Kita juga tak kalah masygul dengan SE Kemenhub 14 Tahun 2020 tentang Pedoman dan Petunjuk Teknis Pengendalian Transportasi Perkeretaapian Dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru untuk Mencegah Penyebaran Covid-19.

Dalam SE tersebut tercantum pelonggaran kapasitas angkutan umum secara teknis dibagi menjadi tiga fase.

Fase I-II (35 persen, 45 persen, 50 -70 persen maksimal angkut) berlaku Juni-Juli 2020 dan fase III (60 persen, 80-85 persen maksimal angkut) berlaku pada Agustus 2020.

Khusus Kereta Api perkotaan (KRL, MRT dan LRT) diatur untuk mengangkut maksimum 60 persen.

Petunjuk teknis ini lebih tepat diadakan untuk uji coba kelaikan sarana/prasarana transportasi.

Sementara yang kita hadapi kini adalah Pandemi Covid-19 yang tidak terlihat mata.

Bagaimana bisa diprediksi bahwa sebaran virus bakal menurun sesuai Fase I, II dan III itu, sedangkan bila kita lihat tren grafis sebaran Covid-19 cenderung naik selama sebulan terakhir ini (Mei-Juni 2020).

Secara analisa-matematis Fase I-III akan berbahaya menjadi sebaran Gelombang II bila tetap diterapkan tanpa dasar dari tren penurunan kasus sebaran.

Dilansir dari Kompas, 10 Juni 2020 bahwa Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) mengalami lonjakan kasus terinfeksi setelah pelonggaran.

Belajar dari kasus Asia Selatan ini, kita seyogianya harus tetap lebih berhati-hati dengan skenario pelonggaran (relaksasi) untuk mendukung peningkatan perekonomian bangsa melalui format new normal.

Kementerian Kesehatan RI telah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.

Sayangnya, Kepmenkes ini hanya menyebutkan dua kondisi, yakni pengkondisian teknis Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan pengkondisian teknis setelah PSBB.

Namun khusus Pemprov DKI ada terminologi baru, yakni PSBB transisi (dalam kondisi masih PSBB).

Sebenarnya masa transisi tidak diatur dalam Kepmenkes tersebut, sehingga saat ini publik kebingungan membedakan transportasi masa PSBB, masa transisi PSBB dan masa new normal (setelah PSBB) karena sebenarnya sama.

Apabila kita merunut Kepmenkes ini transisi PSBB ini sebenarnya sudah new normal (new habit).

Dalam kondisi new normal artinya pengkondisian hidup sehat (pakai masker, cuci tangan pakai sabun, dan jaga jarak ) untuk menjalankan roda perekonomian supaya tetap stabil selama pandemi.

Dalam kondisi new normal semua stakeholder tetap harus berhati-hati dalam membuat kebijakan yang baik sebelum masuk ke dalam kondisi normal (kondisi sebelum pandemi), termasuk kebijakan transportasi untuk pembatasan kapasaitas angkutan umum.

Pembatasan angkutan umum sesuai aturan WHO tetap ada physical distancing minimal 1 meter. Apabila sesuai aturan PSBB Kemenkes, maksimal daya angkut 50 persen angkutan umum dari total kapasitas sarana transportasi.

Sebenarnya, jika dihitung minimal jaga jarak 1 meter antar-penumpang, sulit mencapai maksimal 50 persen. 

Kita ilustrasikan untuk luasan KRL 2,9 meter x 20 meter = 58, jadi bila kita ikuti aturan WHO hanya boleh angkut 58 orang.

Namun Kemenhub membuat aturan bisa angkut sesuai Fase I sebanyak 70 orang per kereta (35 persen, dari kapasitas 200 penumpang).

Sementara dalam kondisi normal dapat mengangkut 250 penumpang (kondisi nyaman) dan kondisi tidak nyaman dapat mengangkut 300 orang per kereta.

Jadi bila mengacu pada standar Kemenhub yakni kapasitas normal 200 orang per kereta, aturan PSBB mengizinkan memuat 50 persen dari jumlah maksimalnya, bisa 100 orang per kereta.

Dengan demikian aturan PSBB kemenkes tidak bisa dipakai.

Selain itu, terdapat pembedaan untuk angkutan massal antara bus dengan kereta perkotaan dalam SE Kemenhub Nomor 11 dan 14 tahun 2020.

Fase II bus umum maksimal 70 persen dan untuk KA Perkotaan hanya 45 persen. Sesama angkutan umum massal perkotaan tetap mempunyai aturan penghitungan standar sama.

Dalam perbandingan SE tersebut terdapat penghitungan kapasitas KA Perkotaan namun Bus Perkotaan (BRT) tidak ada, padahal konfigurasi tempat duduk antara KA Perkotaan dan Bus Perkotaan adalah sama yang saling berhadapan sejajar sepanjang sarana moda bus/KA.

Bila standar penghitungannya sama antara moda untuk KA Perkotaan dan Bus Perkotaan tentunya Trans Jakarta hanya diizinkan maksimal 45 persen untuk Fase II dan 60 persen untuk fase III (bukan 70 persen dan 85 persen).

Regulasi Tumpang Tindih

Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 41 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covud-19 ditandatangani Menhub 8 Juni 2020.

Berlawanan secara legal formal dengan Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19 yang ditandangani oleh PLT Menhub 23 April 2020.

Sesuai Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 dalam Pasal 27 sudah dijelaskan bahwa pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan mengenai pengendalian transportasi untuk kegiatan mudik tahun 2020 sebagaimana diatur dalam Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Sementara Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 memang tidak diatur mengenai pembatasan kapasitas angkutan umum, namun Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 yang mengatur pembatasan angkutan umum telah dicabut.

Alhasil, kini Permenhub 41 Tahun 2020 terbit untuk perubahan atas Permenhub Nomor 18 Tahun 2020.

Dari sini mengapa bisa Permenhub yang telah dicabut muncul kembali untuk perubahannya?

SE Nomoe 11 dan 14 Tahun 2020 bereferensikan juga Permenhub Nomor 41 Tahun 2020, artinya Permenhub 18 Tahun 2020 masih berlaku, namun ada beberapa pasal yang mengalami perubahan.

Peraturan petunjuk teknis dalam SE tersebut diberlakukan untuk operator dan diketahui publik sebagai kontrol/pengawasan untuk pelaksanaan new normal di ranah transportasi Fase I, Fase II dan Fase III.

Mengatur Pergerakan Manusianya

Sesuai protokol kesehatan Gugus Tugas Nomor 7 Tahun 2020 tentang perjalanan orang,  hanya ada tiga syarat bagi pengguna angkutan umum, yakni selalu pakai masker, cuci tangan dengan sabun/hand sanitizer dan jaga jarak.

Untuk pakai masker dan cuci tangan adalah mudah karena tanggung jawab pribadi, sedangkan jaga jarak adalah sulit karena berhubungan dengan orang lain.

Maka kapasitas angkutan umum bila harus ada jarak 1 meter, dengan isi 30-50 persen dari kapasitas normal. Hal ini agar tidak terjadi kontak fisik di angkutan umum.

Sudah saatnya semua stakeholder antar Kementerian/Lembaga selalu melakukan koordinasi dan sinkronisasi aturan untuk mencegah sebaran Covid-19.

Kerja sama ini dapat mengatur waktu pergerakan masyarakat untuk waktu kerja supaya bisa terurai kepadatannya baik di sarana angkutan umum ataupun di jalan raya.

Kemenaker dapat mengatur waktu kerja untuk perusahaan swasta, KemenBUMN bisa mengatur untuk perusahaan BUMN dan KemenPAN/Kemendagri akan mengatur PNS/ASN dengan berkoordinasi dengan Pemda masing-masing untuk pembagian waktu/wilayah kerjanya.

Pemda akan mengatur PNS wilayahnya sendiri termasuk BUMDnya. Pasti akan bisa terurai kepadatan di sektor transportasi apabila Gugus Tugas berhasil menjadi koordinator semua lini Kementerian/Lembaga untuk mengurai kepadatan penumpang.

Harus dibagi kelompok jam kerja (masuk jam 07.00, 08.00 dan jam 09.00) dan pembagian shift kerja pagi dan siang hari.

Untuk pembagian karyawan, 50 persen di antaranya bekerja di kantor dan separuh lainnya bekerja di rumah juga efektif untuk menjaga jarak sehat di transportasi umum.

Jadi permasalahan kepadatan pengguna transportasi adalah tanggung jawab bersama dari hulu sampai hilir, bukan semata wayang tanggung jawab lini perhubungan (Kemenhub) saja di hilir.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau