SUNGGUH, sewaktu membaca judul Kompas.com pada 27 April 2020 terkait sektor properti yang luluh lantak, saya menduga, ada banyak pelaku bisnis yang sedianya ingin masuk ke sektor ini menjadi semakin berpikir keras.
Jika banyak sektor lain baru terhantam sejak muncul pandemi global Covid-19, sektor ini dikatakan mengalami perlambatan cukup panjang selama tiga tahun terakhir walaupun sejumlah stimulus telah digulirkan.
Ada lima faktor utama yang dapat diduga menyebabkan perlambatan terhadap sektor ini. Faktor pertama adalah daya beli properti masyarakat yang secara umum melemah.
Selain itu minat beli properti generasi milenial yang rendah dan sulitnya pengadaan ruang baru.
Faktor lain adalah penggunaan ruang, baik kerja maupun tinggal, yang semakin lama kian efisien.
Yang terakhir, gaya hidup masyarakat yang mulai berubah akibat bertambahnya jumlah jam kerja rata-rata tenaga kerja di Indonesia.
Untuk mengatasi masalah daya beli, pelaku bisnis di bidang properti harus mampu menawarkan dua skema paket baru.
Pertama, untuk kelas menengah bawah, industri properti harus berani mengeluarkan skema pembayaran cicilan harian sebesar Rp 50.000 per hari untuk dua kamar tidur.
Kedua, untuk kelas menengah sampai menengah atas, industri properti harus berani menyiapkan ruang tiga kamar tidur atau lebih dengan harga lebih kurang sebanding dengan harga mobil sesuai kelas mereka sehari-hari.
Hal ini selaras dengan artikel Kompas.com pada 17 April 2020 yang menyebutkan bahwa rumah di bawah harga Rp 2 miliar paling banyak diminati untuk area Jadebotabek.
Dengan kata lain, besar cicilan rumah selama 20 tahun yang rata-rata diidamkan oleh penduduk kota tersebut harus relatif sebesar cicilan kendaraan bermotor yang mereka gunakan selama 3 tahun.
Tentu saja, dengan kenaikan rata-rata harga properti 10 persen per tahun, ini tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sekitar 5 persen per tahun.
Untuk mengatasi minat beli properti generasi milenial, ada tiga rekomendasi taktis yang dapat dijalankan pengembang selama masa Pandemi Covid-19.
Pertama, paket bundling dengan interior rumah. Hal ini sangat diperlukan oleh generasi milenial yang notabene merupakan pasar terbesar di sektor properti.
Kedua, jarak pemukiman dengan pusat perkantoran atau pusat perindustrian harus relatif dekat atau mudah diakses dengan kendaraan pribadi ataupun kendaraan umum.
Ketiga, modernisasi terutama terkait digitalisasi dari fitur yang terdapat pada rumah mutlak diperlukan.
Tiga hal tersebut dapat dijalankan dengan catatan, para pengembang harus memperhatikan daya beli masyarakat secara umum.
Di sinilah peran semua pengembang dan investor di dunia properti untuk dapat menahan laju kenaikan harga menjadi lebih rasional.
Jika mengabaikan itu, semua pengembang dan investor akan merasakan beratnya arus kas dalam jangka lebih panjang karena tingkat okupansi yang diprediksi semakin lama semakin turun.
Di negara yang lebih maju saja, sekarang jumlah penyewa lebih banyak ketimbang jumlah pembeli properti.
Untuk pengadaan ruang baru ini sebenarnya sudah dipikirkan oleh pemerintah dengan membangun ibu kota baru.
Selain itu, perlu dipikirkan pengembangan proyek reklamasi dan pembebasan lahan yang lebih humanis.
Akan lebih sempurna saat pengadaan ruang baru ini juga mengakomodasi pelestarian lingkungan hidup di tengah modernisasi area tersebut.
Lingkungan hidup yang bersinergi dengan alam mutlak harus dipikirkan oleh pemerintah dan pengembang properti.
Karena yang terjadi saat ini, hampir semua kota besar mengalami krisis menyempitnya ruang terbuka hijau (RTH).
Lihat saja statistik pandemi secara global yang lebih banyak menghantam perkotaan besar dengan akses RTH yang minim.
Peran pemerintah dan inisiatif pengembang properti sangat diperlukan untuk membantu mengelola dan mengembangkan RTH.
Sementara, untuk penggunaan ruang yang semakin sedikit, pengembang harus mulai memikirkan siasat optimalisasi.
Saat ini, ukuran rumah tapak yang paling cocok untuk pasangan muda menengah atas adalah rumah dua lantai bertipe 6x10 meter persegi atau 6x12 meter persegi dengan tiga kamar.
Sedangkan ukuran apartemen ideal untuk kalangan menengah atas mencakup tiga kamar, serta untuk pasangan muda kelas menengah bawah adalah rumah susun dengan dua kamar.
Bagaimana jika masih sendiri? Hunian dengan kamar lebih dari satu unit bisa dimanfaatkan untuk fungsi lain seperti ruang belajar, bekerja atau berdoa.
Jika rumah tersebut ditinggali oleh sebuah keluarga, tentu saja persiapan ruang untuk anak juga diperlukan dan bagi sebagian kalangan menengah atas keberadaan kamar tersendiri bagi asisten rumah tangga (ART) menjadi kebutuhan yang tak terelakkan.
Berbeda dengan era terdahulu, banyak pasangan muda enggan memiliki rumah yang terlalu besar karena memikirkan biaya perawatan dan sedikitnya waktu tinggal mereka.
Lalu terakhir, untuk perubahan gaya hidup dan terutama setelah muncul pandemi global ini, maka setiap pengembang properti harus memikirkan tiga hal.
Pertama, rumah sebagai tempat peristirahatan sementara dengan kelengkapan fasilitas mumpuni, termasuk akses internet tanpa batas.
Kedua, sebuah kamar tidur yang dilengkapi fasilitas cukup lengkap untuk mengisolasi diri.
Terakhir, perlu dipikirkan jasa serba praktis dalam area perumahan seperti minimarket, tempat cuci kendaraan, rumah makan sesuai anggaran dan area olahraga bersama.
Jika semua hal di atas diperhatikan dengan baik oleh semua pihak, niscaya sektor properti akan kembali menggeliat.
Richard Andrew, SE, MM
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tarumanagara
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.