JAKARTA, KOMPAS.com - Perhotelan tampil paling stabil dan relatif lebih baik kinerjanya di antara bisnis properti lainnya seperti apartemen, ritel, dan perkantoran, sepanjang 2019.
Hal ini didukung tingkat hunian secara umum yang tercatat sekitar 62 persen untuk kawasan Jakarta, dan Bali.
Managing Partner of Strategic Advisory Coldwell Banker Tommy H Bastami menjawab pertanyaan Kompas.com, usai presentasi Market Outlook 2020, di Jakarta, Kamis (6/1/2020).
Menurut Tommy, kegiatan meeting, incentives, convention and exhibition (MICE) baik dari sisi korporasi maupun government spending yang sifatnya reguler menjadi kontributor terbesar kinerja perhotelan.
Baca juga: Tahun Ini, Jakarta Tambah 2.103 Kamar Hotel Baru
"Kegiatan MICE tidak akan tergerus. Jadi bisnis perhotelan masih akan cukup panjang (nafasnya). Jika bisnis proeprti lainnya mengenal siklus lima tahunan, tidak demikian dengan hotel yang relatif tidak akan ada masalah," tutur Tommy.
Khusus di Jakarta, performa terbaik ditunjukkan hotel berklasifikasi bintang empat yang memiliki fleksibilitas lebih tinggi ketimbang bintang lima atau di bawahnya.
Hotel bintang empat, kata Tommy, bisa menangkap dua pasar sekaligus yakni segmen hotel bintang lima dan segmen hotel bintang tiga.
"Dengan rate (tarif) yang juga fleksibel, sehingga hotel bintang empat menjadi pilihan utama bagi korporat dan pemerintah untuk menggelar acara-acara MICE reguler," cetus Tommy.
Secara umum, Tommy menuturkan, bisnis perhotelan sepanjang 2019 mengalami penambahan pasokan kumulatif sebanyak 38.256 kamar atau tumbuh tipis 0,5 persen dibanding tahun lalu.
Sementara untuk pasokan baru kuartal IV-2019 sejumlah 201 kamar. Pasokan berasal dari Ibis Style Simatupang, Mercure Jakarta Gatot Subroto, dan Ibis Style Jakarta Pusat.
Meski pasokan bertambah, namun tingkat hunian mengalami kenaikan 5,46 persen menjadi 66,8 persen.
Baca juga: Piala Dunia U20 Bakal Dongkrak Bisnis Hotel Surabaya
Hotel di sekitar Bandara Internasional Soekarno-Hatta tercatat menunjukkan tingkat hunian tertinggi sekitar 80 persen.
Sementara tingkat hunian hotel di kawasan central business district (CBD) Jakarta sekitar 70 persen.
Adapun tarif rata-rata per kamar per malam sebesar Rp 1,3 juta.
Menurut riset Coldwell Banker, kenaikan signifikan permintaan hotel terjadi di Semarang dengan angka 17,9 persen yang didorong pengembangan infrastruktur Tol Trans Jawa.
Jaringan jalan bebas hambatan ini menghubungkan Semarang dengan Jakarta dan Surabaya sehingga meningkatkan kegiataan MICE dari perusahaan dan pemerintah.
"Permintaan dari perusahaan berasal dari kegiatan industri di sekitar Semarang, seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal dan permintaan long stay dari para ekspatriat," jelas Manager Research and Consultancy Angra Angreni.
Baca juga: Ada MotoGP Mandalika, PP Properti Bangun Hotel Rp 390 Miliar
Sementara tingkat permintaan hotel di kawasan Bodebek sekitar 7,4 persen, Tangerang 16,1 persen, Medan 6,0 persen, dan Bandung 5,7 persen.
Tumbuhnya tingkat permintaan ini berdampak pada kenaikan tarif rata-rata sekitar 1-6 persen menjadi Rp 802.000 per malam.
Bagaimana dengan sektor lainnya seperti perkantoran, apartemen dan ritel?
Baca juga: Perkantoran Jakarta Masih Dikuasai Perusahaan Teknologi
Associate Director Coldwell Banker Indonesia Dani Indra Bhatara menuturkan, pasar perkantoran sepanjang 2019 menunjukkan perbaikan dengan total permintaan 182.000 meter persegi.
"Angka ini meningkat 23,8 persen dibanding tahun sebelumnya. Meski demikian tingkat okupansi masih jauh di bawah pencapaian tahun-tahun 2013-2015. Tingkat okupansi masih sekitar 82 persen," kata Dani.
Mayoritas permintaan ruang perkantoran sewa masih didominasi sektor fintech dan bisnis berbasis IT lainnya seperti perdagangan daring, dan co-working space.
Dengan tingkat hunian yang masih berkutat di angka 82 persen itu menyebabkan harga sewa pun masih tertekan, sekitar Rp 202.800 per meter persegi per bulan.
Hal ini berdampak pada tingkat hunian yang cenderung tidak berubah, sekitar 91,3 persen hingga akhir 2019 dengan tarif sewa rata-rata Rp 653.000 per meter persegi per bulan.
"Sektor food and beverage masih menguasai permintaan, disusul hiburan, dan fast entertainment," imbuh Dani.
Untuk sektor apartemen, kelas menengah atas tampil mengesankan dengan pertumbuhan eksponensial.
Hal ini terlihat dari pasokan baru apartemen kelas menengah atas yang mendominasi pasar dengan porsi 83,4 persen dari total 606 unit, disusul apartemen premium 16,6 persen.
Baca juga: Punya Mal Terluas di Indonesia, Surabaya Tambah 3 Pusat Belanja
Dengan demikian pasokan kumulatif apartemen mencapai 183.898 unit atau tumbuh tipis 1,6 persen secara tahunan dengan kelas menengah mendominasi kontribusi sekitar 42,3 persen.
Menyusul berikutnya apartemen kelas menengah bawah dengan 24,5 persen, dan kelas atas dengan angka 15,7 persen, serta segmen premium (1,3 persen).
Selain pasokan, pertumbuhan juga terjadi pada segmen permintaan dengan tingkat penjualan rata-rata 93,2 persen atau tumbuh 0,4 persen.
Seiring dengan terbatasnya pasokan, harga rata-rata apartemen sedikit terkatrol 1,4 persen menjadi Rp 25,1 juta per meter persegi.
"Hal ini didukung beberapa faktor positif. Di antaranya terjadinya peralihan penggerak utama perkantoran, dari sektor tradisional ke sektor berbasis IT," kata Tommy.
Selain itu, pasar menengah atas akan tetap tumbuh dengan pergerakan yang lebih selektif. Kemudian tingkat serapan, terutama pada ritel, apartemen dan perkantoran yang menunjukkan tren positif dengan signifikansi tinggi.
Faktor kunci lainnya adalah kebijakan pemerintah terutama penurunan suku bunga acuan menjadi 5 persen, ekspansi perusahaan F and B, aktivitas industri dan pendidikan, ekspansi perusahaan berbasis IT, pengembangan infrastruktur macam LRT dan Jalan Tol serta kegiatan MICE.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.