JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak pihak mulai memprediksi kondisi pasar properti tahun 2020 akan berjalan lebih baik dibanding tahun 2019.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan, sektor ini diproyeksikan kembali bangkit setelah tertekan selama beberapa tahun terakhir.
"Enggak ada alasan properti tidak naik. Ini indikasi sudah jelas," kata Ali di Jakarta, Senin (13/1/2020).
Baca juga: 2020 Sektor Properti Diprediksi Bangkit dari Mati Suri
Prediksi ini dilatarbelakangi sejumlah indikator seperti pembangunan infrastruktur dan faktor stimulus seperti pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 5,1 persen, stabilitas laju inflasi di kisaran 3 persen, serta suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 5 persen.
Ali menuturkan, pada 2017 silam, sektor properti seharusnya sudah kembali bangkit. Namun saat itu, harga properti yang terlalu tinggi dan dibarengi dengan isu politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta turut berdampak pada tertekannya pasar properti nasional.
Setahun setelahnya investor memilih melakukan aksi wait and see karena memasuki tahun politik.
"Dari 2013 sampai saat ini properti mati suri. Sebetulnya 2017 properti sudah waktunya naik, cuma masalahnya 2017 ada Pilkada DKI, 2018 masuk pilpres tahun politik," kata Ali.
Salah satu segmen yang akan kembali naik pada tahun ini adalah pasar rumah tapak kelas menengah dengan kisaran harga Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar dengan persentase 54,97 persen.
"Primadona 2020 lebih ke rumah landed dengan harga di bawah Rp 1 miliar," ucap dia.
Selain itu, rumah seharga Rp 300 juta-Rp 500 juta dan hunian dengan harga Rp 500 juta-Rp miliar diperkirakan menyerap porsi sebesar 24,27 persen dan 30,27 persen.
Baca juga: Rumah Rp 300 Juta-Rp 1 Miliar Paling Laku
Mayoritas konsumen yang membeli rumah dengan harga Rp 2 miliar-3 Rp miliar merupakan investor.
Dengan harga properti saat ini yang dianggap terlalu tinggi, Ali mengatakan pasar mulai bergerak ke konsumen end user.
Adapun penyebab pasar hunian kelas menengah mendominasi penjualan karena pasar kelas menengah atas sudah jenuh. Selain itu, saat ini kondisi pasar masih dibayangi mismatch.
Menurut Ali, pengembang saat ini harus menyediakan rumah dengan harga terjangkau.
Selain jenis properti, ke depan pengembang bisa mulai melirik koridor timur Jakarta. Selama ini, para pengembang fokus untuk mengembangkan area di koridor barat.
Menurut Ali, khusus untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, kawasan koridor timur Jakarta dianggap memiliki potensi besar. Salah satu pemicunya adalah ketersediaan infrastruktur.
"Salah satu yang membuat trigger-nya properti itu infrastruktur," tutur dia.
Koridor timur Jakarta, sebut Ali, diuntungkan dengan adanya infrastruktur lain seperti Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek, Tol Jakarta-Cikampek II Selatan, Jakarta Outer Ring Road Cimanggis-Cibitung, dan lain-lain.
Daftar infrastruktur konektivitas tersebut akan semakin bertambah. Seperti diketahui, saat ini beberapa proyek infrastruktur konektivitas sedang dibangun, seperti Light Rapid Transit (LRT) Jabodebek, kereta api cepat Jakarta-Bandung, double-double track Manggarai-Cikarang,
Pelabuhan Patimban, hingga bandara di Karawang yang rencananya akan dibangun pada 2027.
Tak hanya itu, harga jual lahan di area ini relatif lebih rendah dibanding di kawasan barat.
Baca juga: Mengupas Potensi Koridor Timur Jakarta
Pertumbuhan selama sembilan tahun di koridor barat sebesar 30,2 persen, sedangkan koridor timur tercatat hanya 21,5 persen.
Adapun harga tanah di koridor barat sebesar Rp 9 juta-Rp 17 juta, sedangkan di koridor timur, kisaran harganya lebih rendah yakni sekitar Rp 5 juta-Rp 12 juta.
Potensi lain dari wilayah ini ada pada keberadaan kawasan industri. Di Kabupaten Bekasi misalnya, wilayah industrinya mampu menyumbang 34 persen hingga 46 persen Penanaman Modal Asing (PMA) dan 22 persen-45 persen volume PMDN.
Selain itu, daya beli masyarakat setempat juga dinilai sangat potensial. Penghasilan masyarakat antara Rp 2,5 juta-Rp 4,5 juta sebesar 31,72 persen dari total populasi sebesar 3,24 juta jiwa.
Lalu masyarakat dengan penghasilan di atas Rp 4,5 juta mencapai 51,39 persen.
Selanjutnya, mereka yang memiliki penghasilan Rp 7 juta-Rp 12 juta menempati porsi 26,3 persen dari total populasi.
Terakhir mereka yang berpenghasilan lebih dari Rp 12 juta sebanyak 16,7 persen.
Ali menyebut, mayoritas warga negara asing (WNA) yang bekerja berasal dari Jepang dengan jumlah mencapai 7.442 jiwa, disusul Korea dengan 3.842 jiwa, dan beberapa pekerja dari negara lain.
Meski koridor timur Jakarta memiliki potensi besar di sektor properti, namun sejumlah permasalahan masih membayangi, di antaranya polusi, gambaran kawasan yang gersang, hingga masalah tempat pembuangan sampah.
Faktor-faktor tersebut dianggap dapat mengurangi potensi pengembangan hunian di wilayah timur.
Dengan demikian, para developer juga diminta untuk menyediakn ruang terbuka hijau (RTH). Selain itu, Ali juga menyarankan para pengembang untuk menyediakan daerah resapan.
Langkah ini dilakukan guna mengurangi polusi dan gambaran kawasan timur yang selalu dipandang gersang.
Baca juga: Sejumlah Masalah Menghantui Koridor Timur Jakarta
Memang saat ini pengembang telah berusaha menangani polusi di daerah yang mereka bangun. Akan tetapi skala penanganannya masih kecil.
Upaya lain yang diperlukan untuk mengembangkan area ini adalah keberadaan fasilitas penujang seperti rumah sakit, sekolah, serta pusat perbelanjaan.
Tak lupa, Ali juga mengingatkan pengembang agar merencanakan pembnagunan dengan baik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.