JAKARTA, KOMPAS.com - Seiring dengan kinerja yang menunjukkan kurva pertumbuhan positif sepanjang 1 tahun pertama operasi, PT MRT Jakarta membuka peluang untuk menjual saham kepada publik melalui initial public offering (IPO) pada 2022 mendatang.
Presiden Direktur PT MRT Jakarta William Sabandar mengungkapkan hal itu saat pemaparan materi "MRT Jakarta, Keberlanjutan dan Urban Regeneration", di Jakarta, Rabu (27/11/2019).
"Masih dihitung berapa kebutuhan dana yang kami harapkan dan jumlah saham yang akan dilepas kepada publik," kata William menjawab Kompas.com.
Hanya, satu yang pasti dana publik tersebut nantinya akan digunakan untuk membiayai operasional perusahaan serta pembangunan MRT Jakarta fase berikutnya.
IPO ditempuh sebagai salah satu pendekatan inovatif dan terobosan baru dari pengelola sistem transportasi metropolitan (metro system) yang meskipun bersifat pelayanan publik, namun bisa mencari sumber pendanaan secara komersial.
Selain melepas saham, PT MRT Jakarta juga akan menjual kawasan berbasis transit atau transit oriented development (TOD) yang masuk dalam skema land value captive kepada sektor swasta, terutama para pengembang properti.
"Nanti ini akan tripartit bentuknya, Pemprov DKI, PT MRT Jakarta dan swasta. Kami juga akan membentuk perusahaan khusus untuk mengelola TOD, supaya lebih profesional, akuntabel, dan transparan. Berapa biaya masuk dan keluar dari pengelolaan TOD, semua jelas," imbuh William.
Pengelolaan TOD, menurut William, sesuai dengan penugasan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 140 Tahun 2017 tentang Penugasan PT MRT Jakarta sebagai Operator Utama, dan Pergub Nomor 67 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kawasan Berorientasi Transit (KBT).
Baca juga: Jadi World Class Operator Setara Jepang, Ini Strategi MRT Jakarta
Namun, hingga kini William mengaku skema kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta, PT MRT Jakarta, dan swasta belum bisa dijabarkan kepada publik, apakah bangun guna serah atau built operate transfer (BOT) atau kerja sama operasi (KSO).
Pendekatan inovatif terkait pendanaan lainnya adalah direct landing sovereign, yang memungkinkan PT MRT Jakarta mencari pinjaman langsung kepada investor atau lembaga lain dengan penjaminan pemerintah.
"Karena itu untuk opsi pendanaan kedua ini kami butuh peraturan pemerintah," imbuh William.
Untuk diketahui, hingga akhir 2019, PT MRT Jakarta telah mencetak pendapatan sekitar Rp 1 triliun atau tepatnya Rp 940 miliar. Kontributor terbesar berasal dari pendapatan subsidi senilai Rp 560 miliar.
Sementara pendapatan non tiket atau non-farebox Rp 225 miliar. Dari jumlah ini, mayoritas berasal dari periklanan senilai Rp 123,7 miliar atau 55 persen.
Disusul naming rights 33 persen sejumlah Rp 74,25 miliar, kemudian telekomunikasi 2 persen, dan ritel satu persen.
Sisa 9 persen lagi merupakan pendapatan lain-lain yang diperoleh dari pendapatan suku bunga, dan selisih kurs sejumlah Rp 40 miliar.
Baca juga: Fase II MRT Jakarta Bunderan HI-Ancol Barat Butuh Rp 22,5 Triliun