Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Oknum Pejabat Kementerian PUPR di Pusaran Kasus Suap dan Korupsi

Kompas.com - 17/10/2019, 07:00 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tak banyak kata yang diucapkan Inspektur Jenderal Kementerian PUPR Widiarto saat menemui para jurnalis di Media Center Kementerian PUPR, Rabu (16/10/2019). 

Raut wajahnya murung, tatkala ia harus menyampaikan perkembangan situasi internal kantornya. 

"Rekan-rekan media, hari ini kami dari jajaran Kementerian PUPR akan menyampaikan rilis terkait peristiwa penangkapan, operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi," ucap Widiarto.

Pada Selasa (15/10/2019), Komisi Antirasuah melakukan operasi pengungkapan sejumlah kasus. Salah satunya, dugaan suap proyek jalan di Kalimantan Timur.

Dari delapan orang yang ditangkap KPK di Bontang, Samarinda, dan Jakarta, terungkap Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Wilayah XII Refly Ruddy Tangkere.

Baca juga: Widiarto Mengantar Sendiri Pejabat Kementerian PUPR ke Kantor KPK

Oknum pejabat pada kementerian yang dipimpin Basuki Hadimuljono ini diduga telah menerima uang haram sebesar Rp 1,5 miliar. 

"Jadi, pemberi mentransferkan uang secara periodik pada rekening miliknya dan kemudian ATM-nya diberikan kepada pihak penerima. Nah, uang di ATM itulah yang diduga digunakan pihak penerima. Diduga sudah diterima sekitar Rp 1,5 miliar," ungkap Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (15/10/2019).

Penangkapan Refly, menambah daftar rentetan perkara suap dan korupsi yang dilakukan oknum pejabat Kementerian PUPR. Siapa saja mereka?

1. Teuku Mochamad Nazar dkk

Kepala Satuan Kerja SPAM Darurat Pemukiman Pusat Teuku Mochamad Nazar divonis pidana enam tahun oleh majelis hakim tindak pidana korupsi pada 7 Agustus 2019. 

Ia tak sendiri. Bersama dua rekannya, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) SPAM Strategis Wilayah IB Meina Woro Kustinah dan PPK SPAM Strategis IIA Donny Sofyan Arifin, masing-masing diganjar kurungan empat tahun penjara.

Baca juga: Kementerian PUPR Siapkan Pengganti Pejabat yang Kena OTT KPK

Ketiganya dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut.

Tak cuma hukuman kurungan, Nazar, Meina, dan Donny juga dijatuhi hukuman denda dengan jumlah berbeda.

Untuk Nazar, denda yang ditambahkan sebesar Rp 250 juta subsider dua bulan kurungan. Sedangkan Meina dan Donny, masing-masing didenda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan. 

Majelis hakim saat pembacaan putusan menyatakan, Nazar terbukti menerima suap sebesar Rp 6,71 miliar dan 33.000 dollar AS.

Sedangkan Meina menerima Rp 1,4 miliar dan 23.000 dollar Singapura. Adapun Donny terbukti menerima suap 820 juta. 

Ketiga oknum pejabat ini menerima suap dari Direktur Utama PT Wijaya Kusuma Emindo (WKE) Budi Suharto, Direktur Keuangan WKE Lily Sundarsih, Direktur PT Tashida Sejahtera Perkara Irene Irma dan Direktur WKE Yuliana Enganita Dibyo. 

Baca juga: OTT Pejabat Kementerian PUPR Tak Terkait Proyek Ibu Kota Baru

Suap diberikan agar Meina dan Donny selaku PPK memberikan kemudahan dalam pengawasan kegiatan proyek di lingkungan Satker PSPAM Strategis di Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR.

Dengan begitu, dapat memperlancar pencairan anggaran kegiatan yang dikerjakan PT WKE.

Selain itu, suap yang diberikan kepada Nazar didasari atas penunjukan langsung dan memperlancar pencairan anggaran kegiatan proyek-proyek yang dikerjakan oleh PT WKE dan PT TSP.

Sementara itu, proyek-proyek yang menjadi sumber suap untuk ketiga terdakwa tersebut antara lain, pembangunan SPAM PDAM Binaan (Katulampa) Kota Bogor tahun 2017-2018, pembangunan SPAM IKK Balai Riang Kabupaten Sukamarah Provinsi Kalimantan Tengah, dan pembangunan SPAM IKK Arut Utara Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah.

Kemudian, pembangunan SPAM IKK Sambang Makmur Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, proyek IPA Semboja Kalimantan Timur, serta proyek-proyek di SPAM di Aceh diantaranya proyek IPA Air Bukit di NAD.

Lalu, proyek penanganan Tanggap Darurat SPAM Sulawesi Tengah 2018 yang berlokasi di Donggala Sulawesi Tengah, serta proyek pekerjaan Pengadaan Pipa dan Aksesoris Kebutuhan Keadaan Darurat 2018 yang berlokasi di Kota Bekasi Jawa Barat.

2. Bulera

Selain KPK, dalam pengungkapan kasus suap di lingkungan Kementerian PUPR juga dilakukan aparat kepolisian.

Kali ini, giliran Kepala Pejabat Penandatanganan Surat Perintah Membayar Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu Ditjen Penyediaan Perumahan Wilayah NTB, Bulera. 

Penangkapan ini terjadi pada 25 September 2019. Sehari kemudian, petugas menyegel ruang kerja Bulera dan mengamankan barang bukti berupa dokumen dan uang sebesar Rp 100 juta. 

Baca juga: Widiarto Pastikan Proyek Jalan yang Kasusnya Ditangani KPK Tetap Lanjut

Kapolres Mataram AKBP Saiful Alam mengatakan, penangkapan dilakukan sesaat setelah rekannya menyerahkan uang kepada Bulera di Kantor Dinas Perumahan dan Pemukiman NTB. 

Dalam kegiatan tersebut juga diamankan seorang pejabat pembuat komitmen. 

"Kami mengamankan seseorang yang melakukan perbuatan korupsi (Satker PUPR), terkait dengan pembangunan rumah susun di Kabupaten Sumbawa senilai Rp 3 miliar. Kami menangkap yang bersangkutan di Mataram beserta barang bukti Rp 100 juta," kata Saiful.

Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Khalawi Abdul Hamid memastikan, proyek yang dimaksud tidak terkait dengan proyek perumahan yang ada di sekitar Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) calon sirkuit MotoGP.

"Tidak ada kaitannya dengan masalah sirkuit Mandalika. Itu program baru rencana tahun depan. Info sementera terkait pungli pembangunan rusunawa di Sumbawa 2019," kata Khalawi saat dikonfirmasi.

3. Refly Ruddy Tangkere

KPK secara resmi telah menetapkan Refly sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek preservasi jalan di Kalimantan Timur, Rabu malam. 

Baca juga: Pejabatnya Dicokok KPK, Ini Sikap Kementerian PUPR

Awalnya, KPK menduga suap yang diterima Refly sebesar Rp 1,5 miliar. Belakangan, akumulasi jumlahnya justru bertambah mencapai Rp 2,1 miliar. 

Suap berupa fee itu diduga diberikan Direktur PT Harlis Tata Tahta, Hartoyo.

"RRT (Refly) diduga menerima uang tunai dari HTY (Hartoyo) sebanyak 8 kali dengan besaran masing-masing pemberian uang sekitar Rp 200 sampai Rp 300 juta dengan jumlah total sekitar Rp 2,1 miliar terkait dengan pembagian proyek-proyek yang diterima oleh HTY," kata Ketua KPK Agus Rahardjo dalam konferensi pers, Rabu (16/10/2019).

Berdasarkan konstruksi perkara, pada awalnya, Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Provinsi Kalimantan Timur mengadakan pekerjaan preservasi, rekonstruksi Sp.3 Lempake-Sp.3 Sambera-Santan-Bontang-Dalam Kota Bontang-Sangatta dengan anggaran tahun jamak (multiyears) 2018-2019.

Nilai kontraknya adalah sebesar Rp 155,5 miliar.

"PT HTT milik HTY adalah pemenang lelang untuk proyek tahun jamak tersebut. Dalam proses pengadaan proyek, HTY diduga memiliki kesepakatan untuk memberikan commitment fee kepada RRT selaku Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional XII dan ATS (Andi Tejo Sukmono) selaku Pejabat Pembuat Komitmen," beber Agus.

Menurut Agus, commitment fee yang diduga disepakati sebesar 6,5 persen dari nilai kontrak setelah dikurangi pajak.

"Commitment fee tersebut diduga diterima RRT dan ATS melalui setoran uang setiap bulan dari HTY baik secara tunai maupun transfer," kata Agus.

Selain Refly, Andi diduga juga menerima uang dari Hartoyo dalam bentuk transfer setiap bulan lewat rekening atas nama seseorang berinisial BSA.

"Rekening tersebut diduga sengaja dibuat untuk digunakan ATS menerima setoran uang dari HTY. ATS juga menguasai buku tabungan dan kartu ATM rekening tersebut serta mendaftarkan nomor teleponnya sebagai akun SMS banking," tutur Agus.

Rekening tersebut diduga dibuka pada tanggal 3 Agustus 2019 dan menerima transfer dana pertama kali dari Hartoyo pada tanggal 28 Agustus 2019.

"Rekening tersebut menerima transfer uang dari HTY dengan nilai total Rp 1,59 miliar dan telah digunakan untuk kepentingan pribadinya sebesar Rp 630 juta. Selain itu, ATS juga beberapa kali menerima pemberian uang tunai dari HTY sebesar total Rp 3,25 miliar," jelas Agus.

Uang yang diterima Andi diduga disebut merupakan "gaji" sebagai PPK proyek pekerjaan yang dimenangkan perusahaan Hartoyo.

“Gaji” tersebut diberikan kepada Andi sebesar Rp 250 juta setiap kali ada pencairan uang pembayaran proyek kepada PT HTT.

"Setiap pengeluaran PT HTT untuk gaji PPK tersebut dicatatkan oleh ROS, staf keuangan PT HTT dalam laporan perusahaan," ujar dia.

Atas perbuatannya, Refly dan Andi disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Sementara, Hartoyo disangka melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com