BUKAN hanya urusan rektor orang asing yang membuat banyak pihak di kalangan akademisi menjadi gerah. Bincang-bincang di warung kopi antar-perencana kota pun dipenuhi bahasan Perencanaan Ibu Kota Negara (IKN).
IKN tak pelak menjadi isu aktual sambil ngopi karena penting bagi tumbuh kembangnya kearifan lokal dan meningkatkan peluang para profesional Indonesia berprestasi.
Para perencana tanah air terpingkal-pingkal ketika pemerintah mulai membuat tender penyusunan studi kelayakan lokasi (masterplan) IKN.
Diskusi pun bergulir di komunitas perencana kota organisasi profesi yang menaunginya, Ikatan Ahli Perencanaan (Kota dan Wilayah) maupun di kalangan akademisi. Untung kopinya tidak sampai tumpah.
Sangat janggal rasanya. Ternyata pemerintah mencari tenaga ahli hanya lulusan luar negeri untuk memimpin dan melakukan kajian feasibility maupun perencanaan masterplan kota baru Indonesia, apalagi IKN.
Padahal, ini merupakan kesempatan emas bagi pemerintah untuk mengutamakan tenaga dan pemikiran unggul dalam negeri.
Di ranah profesi perencana kota, secara universal didukung faktor latar belakang pendidikan khusus bidang Perencanaan Kota dan Wilayah (Urban dan Regional Planning) dan Sertifikasi Perencana (Chartered Planners).
Hal ini tak terelakan karena sebuah produk rencana merupakan dokumen negara yang dipakai untuk mengatur wilayah (statutory) yang menjaga kedaulatan (sovereignity) serta menjadi dokumen implementasi dari kesepakatan politik warga dan stakeholders melalui proses perencanaannya.
Merencana kota di Indonesia diatur melalui antara lain PP dan Permen ATR/Kepala BPN tentang pedoman penyusunan produk-produk perencanaan.
Ada peraturan menteri yang mengatur proses perencanaan nya, maupun mengatur pedoman rasio-rasio dan ukuran teknis dalam sebuah rencana, seperti infrastruktur, proyeksi kepadatan penduduk, pelayanan utilitas dan lain lain.
Selain itu, pekerjaan perencanaan Kota selalu berkaitan dengan undang undang lain yang berkaitan seperti Kelihatan, Lingkungan Hidup, Otonomi Daerah, Kelautan dan Pulau Pesisir maupun aturan pelaksana lainn nya dilapangan.
Selama ini, pemerintah baik kementerian maupun pemerintah daerah, secara rigid menerapkan UU Nomor 2 tahun 2007 tentang Jasa Konstruksi dalam setiap pekerjaan konsultan.
Praktiknya, tiap tenaga ahli yang dipekerjakan dalam pekerjaan pemerintah harus memiliki Sertifikat Kompetensi Ahli (SKA). Yang paling menyeramkan dalam hal ini adalah, panitia lelang selalu mensyaratkan SKA dan ketidakadaan SKA sifatnya menggugurkan tender.
Hal ini pun sejalan dengan pengaturan kompetensi keahlian dalam seperti termaktub dalam penjelasan ps 68 UU Jakon tentang spesifikasi keahlian yang wajib ber-SKA.
Maka saya tak heran, jika ada kesan ini kejadian ini mungkin adalah titik kulminasi ketidak percayaan dirinya para ponggawa di pihak pemerintahan. Bahkan arahan Presiden pun untuk mengembangkan sumberdaya manusia Indonesia sampai dianulir di level prokurmen kegiatan.