JAKARTA, KOMPAS.com - Keterjangkauan atau affordability. Ini merupakan isu utama industri perumahan di Indonesia. Betapa tidak, pertumbuhan harga rumah tidak dibarengi kenaikan pendapatan.
Terutama bila kita bicara tentang pembeli rumah pertama atau first time home buyer yang sebagian besar merupakan generasi milenial produktif yang lahir antara tahun 1983-2001 (Elwood Carlson dalam bukunya yang berjudul The Lucky Few: Between the Greatest Generation and the Baby Boom, 2008).
Bahkan, menurut riset Karir.com dan Rumah123.com yang dirilis pada 2016 lalu, angka kenaikan gaji normal di luar promosi hanya sebesar rerata 10 persen, sementara harga rumah melonjak 20 persen.
Pendapatan rata-rata generasi milenial saat ini adalah Rp 6.072.111 per bulan. Sedangkan untuk dapat mencicil rumah di Jakarta dengan harga termurah Rp 300 juta, dibutuhkan pendapatan minimal Rp 7,5 juta per bulan.
Baca juga: Mengapa Pengembang Hunian Berebut Milenial?
Padahal, kenaikan harga rumah tersebut merupakan angka paling minimal saat pasar properti sedang lesu seperti sekarang ini.
Sementara jika ditelusuri secara historis sejak 2009-2012 yang merupakan era ledakan (booming) properti, kenaikan harga rumah bisa mencapai 200 persen, atau 50 persen per tahun.
Rumah123 memprediksi peningkatan harga rumah 2016-2021 sekitar 150 persen, sementara kenaikan pendapatan hanya 60 persen dalam periode yang sama.
Dengan estimasi kenaikan minimal 20 persen per tahun, harga rumah yang saat ini dipatok Rp 300 juta akan menjadi Rp 750 juta.
Dengan penghasilan Rp 12 juta per bulan tersebut, generasi milenial tidak lagi mampu membeli rumah yang sebenarnya terjangkau oleh mereka saat ini.
Baca juga: LRT City, Tren Baru Hunian Terintegrasi Transportasi Massal
Pasalnya, saat harga rumah mencapai Rp 750 juta, cicilan yang harus dibayarkan adalah Rp 5,6 juta per bulan. Padahal kemampuan mencicil mereka hanya 30 persen dari pendapatan yakni Rp 3,6 juta per bulan.
Terhadap dinamika ini, pemerintah bukannya tinggal diam. Melalui Bank Indonesia (BI) berbagai relaksasi peraturan diterbitkan.
Termasuk relaksasi loan to value (LTV) dan uang muka atau down payment (DP) Nol Rupiah. Dalam catatan Kompas.com, BI telah tiga kali melonggarkan LTV sejak 2015.
Pertama tahun 2015 dengan batasan 80 persen LTV atau DP 20 persen yang tadinya 30 persen pada 2013, kemudian tahun 2016 turun kembali menjadi 15 persen.
Terakhir pada tahun 2018, BI memberikan kebebasan kepada perbankan untuk mengatur jumlah DP yang harus dibayar nasabah pembeli rumah pertama untuk semua tipe, hingga 0 Rupiah.