Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Begini Mekanisme Tukar Guling Aset Negara...

Kompas.com - Diperbarui 07/11/2022, 10:13 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berencana menukar guling sejumlah aset negara untuk membantu memenuhi kebutuhan pendanaan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan. 

Lantas, seperti apa seharusnya proses tukar guling itu dilakukan?

Analis hukum pertanahan dan properti Eddy Leks mengungkapkan, sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pemindahtanganan barang milik negara (BMN) dapat dilakukan dengan cara dijual, ditukar, hibah, atau disertakan sebagai modal pemerintah, setelah mendapat persetujuan DPR.

"Persetujuan DPR tersebut dilakukan untuk pemindahtanganan BMN berupa tanah dan/atau bangunan dan pemindahtanganan BMN selain tanah dan/atau bangunan sepanjang nilainya lebih dari Rp 100 miliar," terang Eddy kepada Kompas.com, Kamis (8/8/2019).

Baca juga: Sebelum Tukar Guling Aset, Pemerintah Perlu Kantongi Izin DPR

Adapun penjualan BMN dapat dilaksanakan dengan pertimbangan untuk optimalisasi BMN yang berlebih atau tidak digunakan untuk kepentingan kementerian/lembaga.

Selain itu, secara ekonomis lebih menguntungkan jika dijual, dan atau melaksanakan ketentuan perundang-undangan. 

Penjualan BMN berupa tanah dan atau bangunan dilaksanakan setelah dilakukan kajian aspek teknis, ekonomis dan yuridis. 

"Secara umum, terkait penjualan BMN, maka harus dilakukan secara lelang," tegas Eddy.

Dia menambahkan, sebelum BMN dijual, perlu dilakukan penilaian (appraisal) untuk mendapat angka yang wajar, oleh penilai pemerintah atau penilai publik.

Jika penjualan BMN berupa tanah dan atau bangunan tidak laku terjual pada lelang pertama, dapat dilakukan lelang ulang satu kali lagi. 

Baca juga: Pemerintah Bisa Raup Rp 150 Triliun Lebih dari Tukar Guling Aset

Sementara, jika pelaksanaan lelang ulang melebihi enam bulan sejak tanggal lelang sebelumnya, perlu terlebih dulu dilakukan penilaian ulang. 

Jika tetap tidak laku terjual, pengelola BMN dapat melakukan alternatif bentuk lain pengelolaan BMN, seperti sewa, pinjam pakai, kerja sama pemanfaatan, bangun guna serah atau bangun serah guna, atau kerja sama penyediaan infastruktur.

Sebelumnya, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, pemerintah bisa mendapatkan sumber penerimaan baru dengan valuasi hingga Rp 150 triliun dengan cara ini. 

"Jadi ini sifatnya karena ada potensi penerimaan yang besar dari aset Jakarta, maka kita akan mengupayakan agar kerja sama pengelolaan aset di Jakarta bisa dipakai untuk membangun ibu kota baru," kata Bambang usai rapat terkait pemindahan ibu kota, di kantor Presiden, Jakarta, Selasa (6/8/2019). 

Baca juga: Soal Anggaran Pemindahan Ibu Kota, Opsi Tukar Guling Bisa Jadi Pilihan

"Kalau bisa ditukar guling ya bisa menjadi pemasukan langsung," sambung dia. 

Beberapa aset tersebut meliputi gedung pemerintahan yang berada di pusat Jakarta seperti di kawasan Medan Merdeka, Thamrin, Sudirman, Kuningan, dan SCBD.

Adapun skema tukar guling yang ditawarkan, pertama, dengan menyewakan gedung perkantoran kepada pihak kedua dengan tarif sesuai dengan kontrak yang ada. 

Kedua, kerja sama pembentukan perusahaan yang didirikan oleh dua atau lebih entitas bisnis dalam rangka penyelenggaraan bisnis pada jangka waktu tertentu (joint venture).

Ketiga, menjual langsung gedung kantor yang dimiliki ke pengembang. 

Keempat, sewa gedung dengan syarat pengembang mau berkontribusi dalam pembangunan ibu kota baru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau