NIAT untuk memisahkan peran regulasi dan operasional sudah diamanatkan oleh ragam undang-undang infrastruktur seperti pelayaran, jalan, penerbangan dan energi.
Dalam perjalanan pembangunan infrastruktur yang lebih transparan, rejim regulasi yang mengatur pengelolaan infrastruktur harus dipisahkan antara fungsi strategi dan kebijakan, fungsi regulasi serta fungsi operasional.
Tujuannya adalah untuk menghindari benturan kepentingan, terutama dalam pengelolaan aset infrastruktur publik selama masa layannya.
Dalam praktiknya, sampai saat ini masih terjadi tumpang-tindih pengurusan aset antara pemerintah (regulator) dan badan usaha (operator), seperti aset rel, jalan arteri, jalan tol, dan pelabuhan.
Sementara, khusus bandara, telekomunikasi, energi dan ketenagalistrikan sudah lumayan terpisah dan clear.
Seyogianya kementerian terkait cukup menyiapkan strategi dan kebijakan pengelolaan infrastruktur (politis) dibantu oleh aparatur birokrat (teknis) setingkat sekjen-dirjen (karier–permanen).
Kementerian terkait bisa bermitra dengan badan-badan pengelola dan unit pelayanan. Kementerian juga harus dapat mencegah benturan kepentingan dan untuk ini kementerian selayaknya tidak turut langsung menyelenggarakan aset infrastruktur (membangun, memelihara dan operasi) yang dikelola oleh operator, badan usaha dan unit layanan.
Fungsi penyelenggaraan (operasional) ini, harus terpisah dari kementerian dan birokrasi, wujudnya berupa badan usaha BUMN/BUMD, swasta atau badan layanan umum.
Adapun lembaga yang berperan sebagai pengikat perjanjian (contracting agency) dan wasit (badan regulator) yang mengawasi keselamatan dan persaingan usaha (ekonomi) pasca kontrak, idealnya juga harus dibuat terpisah dari kementerian induknya, birokrasi dan operator.
Tujuannya agar dalam kiprahnya, badan pengatur ini dapat menegakkan keadilan antar-sesama operator baik dalam pasar dan antar pasar (intermoda), termasuk mencegah kartel.
Seringkali badan kontrak dan regulator ini disatukan dalam suatu wadah pengatur atau otorita, seperti otorita pelabuhan dan badan pengatur jalan tol yang harus bisa tegak secara independen. Karena acapkali objek yang diatur akan menyangkut BUMN, BUMD dan badan usaha swasta.
Pasalnya, saat ini setiap sub-sektor infrastruktur memiliki pola kelembagaan yang berbeda-beda, telekomunikasi dan bandara termasuk yang paling maju dan dewasa (mature).
Untuk menjamin agar praktik tata kelola yang baik dapat diterapkan, sub-sektor lainnya masih perlu melakukan transformasi kelembagaan terutama jalan nasional, perkeretaapian dan pelabuhan, bahkan sampai saat ini belum memiliki badan pengatur.
Bila konsep kelembagaan ini diterapkan dipastikan akan mengurangi celah-celah fraud dan korupsi dalam pembangunan infrastruktur, karena kementerian terkait, unit-unit usaha dan layanan umum tadi memiliki portofolio, target kinerja dan akun yang terpisah.
Pembenahan utama yang harus dilanjutkan adalah memisahkan fungsi-fungsi institusi publik di atas dan keterbukaan melibatkan masyarakat dalam mengawasi setiap pembangunan infrastruktur strategis.