Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tarif Tol Turun, Dianggap Bahaya Buat Dunia Investasi

Kompas.com - 27/02/2019, 15:20 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana penyesuaian tarif tol untuk mengakomodasi kendaraan logistik atau non-kendaraan pribadi masih terus mengemuka dan hangat diperbincangkan.

Tarif tol yang berlaku, khususnya Tol Trans-Jawa dinilai terlalu mahal dan membebani pengusaha angkutan logistik. 

Kuatnya desakan penyesuasian tarif ini, memaksa Istana Negara menggelar rapat terbatas yang dihadiri Presiden Joko Widodo, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono pada Rabu (13/2/2019) lalu. 

Menurut Basuki, dalam rapat tersebut sempat muncul gagasan untuk mengurangi tarif kendaraan logistik tanpa harus mengurangi target pendapatan badan usaha jalan tol (BUJT).

Gagasan lain ialah dengan pemberian subsidi. Namun, kedua gagasan tersebut belum final dan harus dibicarakan lagi untung rugi dari aspek bisnis serta investasi.

Baca juga: Tahun Ini, Belanja Modal Astra Infra Rp 800 Miliar

"Presiden bilang coba dikaji lagi kebanyakan subsidi bisa terjadi distorsi," kata Basuki.

Bagaimana kemudian investor dan badan usaha jalan tol (BUJT) menyikapinya?

Chief Financial Officer (CFO) Astra Infra Thomas Tan menyatakan pendapatnya, bahwa penurunan tarif tol, jika itu diambil sebagai keputusan pemerintah, akan sangat berbahaya bagi dunia investasi di Indonesia.

"Itu akan menjadi sinyal negatif, jadi tidak ada kepastian berinvestasi di Indonesia. Nanti tidak akan ada lagi investor (BUJT) yang mau bangun jalan tol. Ini sangat berbahaya," kata Thomas menjawab Kompas.com, saat Tur Inspirasi Tol Trans-Jawa, Senin (25/2/2019).

Petugas gardu Jasa Marga sedang melayani pengemudi untuk membayar tol.Dokumentasi Jasa Marga Petugas gardu Jasa Marga sedang melayani pengemudi untuk membayar tol.
Astra Infra saja yang berpartisipasi menggarap empat ruas Tol Trans-Jawa, aku Thomas, harus mengalami "pendarahan" selama tiga hingga lima tahun, baru kemudian meraup profit.

Dia mencontohkan Tol Tangerang-Merak sepanjang 72,45 kilometer yang memberikan profit setelah tiga hingga lima tahun beroperasi.

Pendapatan Astra Infra dari Tol Tangerang-Merak tahun 2018 lalu sekitar Rp 1 triliun dengan pertumbuhan traffic hingga 40 persen.

Baca juga: Jalan Tol Jalur Neraka Siap Beroperasi Juli 2019

Menurut dia, infrastruktur terutama jalan tol merupakan bisnis jangka panjang yang bersifat capital intensive setelah melalui kajian kelayakan (feasibility study) yang mendalam dan komprehensif.

"Ada business plan yang terukur, kapan harus balik modal, kapan profit, dengan segala risiko yang sudah kami perhitungkan," cetus Thomas. 

Pengamat infrastruktur perkotaan Universitas Trisakti Yayat Supriyatna juga berpandangan serupa.

Menurut dia, berbeda dengan Tol Trans-Sumatera yang sebagian besar merupakan penugasan dari Pemerintah dan karenanya ada dana APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), Tol Trans-Jawa dibangun oleh swasta.

"Kenapa kemudian akhirnya menyerahkan pembangunan koridor Tol Trans-Jawa ini kepada swasta, ya karena biaya membangunnya sangat mahal. Salah satu penyebabnya adalah harga tanah yang tinggi," tutur Yayat.

Rest Area Kedungmlati Ruas Tol Jombang-Mojokerto.KOMPAS.com/HILDA B ALEXANDER Rest Area Kedungmlati Ruas Tol Jombang-Mojokerto.
Nah, yang sanggup membangun Tol Trans-Jawa dengan harga tanah demikian tinggi adalah swasta. Mereka kemudian berani berpartisipasi dengan menggandeng beberapa bank untuk pembiayaannya.

Baca juga: Pemerintah Kaji Kemungkinan Rest Area Jadi Terminal

"Mereka pinjam lho. Kredit triliunan Rupiah, ada bunga juga sekian persen. Mereka berkewajiban untuk mengembalikannya dalam jangka waktu tertentu," tambah Yayat.

Jalan Tol Solo-Ngawi yang dibangun PT Jasamarga Solo Ngawi (JSN), dia mencontohkan, baru bisa break even point (BEP) jika lalu lintas harian rata-rata (LHR)-nya 120.000 kendaraan. Sekarang masih berkutat di angka 10.000 kendaraan.

"Coba berapa tahun lagi itu BEP. Ini bisnis jangka panjang yang tidak menarik lagi jika tarif yang sudah disepakati dan diputuskan, harus disesuaikan lagi," tambah Yayat.

Karena itu, lanjut dia, paradigma masyarakat pengguna jalan tol, baik pribadi maupun logistik, harus bisa melihat, bahwa jalan tol itu adalah memang tentang bisnis.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau