JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana penyesuaian tarif tol untuk mengakomodasi kendaraan logistik atau non-kendaraan pribadi masih terus mengemuka dan hangat diperbincangkan.
Tarif tol yang berlaku, khususnya Tol Trans-Jawa dinilai terlalu mahal dan membebani pengusaha angkutan logistik.
Kuatnya desakan penyesuasian tarif ini, memaksa Istana Negara menggelar rapat terbatas yang dihadiri Presiden Joko Widodo, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono pada Rabu (13/2/2019) lalu.
Menurut Basuki, dalam rapat tersebut sempat muncul gagasan untuk mengurangi tarif kendaraan logistik tanpa harus mengurangi target pendapatan badan usaha jalan tol (BUJT).
Gagasan lain ialah dengan pemberian subsidi. Namun, kedua gagasan tersebut belum final dan harus dibicarakan lagi untung rugi dari aspek bisnis serta investasi.
Baca juga: Tahun Ini, Belanja Modal Astra Infra Rp 800 Miliar
"Presiden bilang coba dikaji lagi kebanyakan subsidi bisa terjadi distorsi," kata Basuki.
Bagaimana kemudian investor dan badan usaha jalan tol (BUJT) menyikapinya?
Chief Financial Officer (CFO) Astra Infra Thomas Tan menyatakan pendapatnya, bahwa penurunan tarif tol, jika itu diambil sebagai keputusan pemerintah, akan sangat berbahaya bagi dunia investasi di Indonesia.
"Itu akan menjadi sinyal negatif, jadi tidak ada kepastian berinvestasi di Indonesia. Nanti tidak akan ada lagi investor (BUJT) yang mau bangun jalan tol. Ini sangat berbahaya," kata Thomas menjawab Kompas.com, saat Tur Inspirasi Tol Trans-Jawa, Senin (25/2/2019).
Dia mencontohkan Tol Tangerang-Merak sepanjang 72,45 kilometer yang memberikan profit setelah tiga hingga lima tahun beroperasi.
Pendapatan Astra Infra dari Tol Tangerang-Merak tahun 2018 lalu sekitar Rp 1 triliun dengan pertumbuhan traffic hingga 40 persen.
Baca juga: Jalan Tol Jalur Neraka Siap Beroperasi Juli 2019
Menurut dia, infrastruktur terutama jalan tol merupakan bisnis jangka panjang yang bersifat capital intensive setelah melalui kajian kelayakan (feasibility study) yang mendalam dan komprehensif.
"Ada business plan yang terukur, kapan harus balik modal, kapan profit, dengan segala risiko yang sudah kami perhitungkan," cetus Thomas.
Pengamat infrastruktur perkotaan Universitas Trisakti Yayat Supriyatna juga berpandangan serupa.
Menurut dia, berbeda dengan Tol Trans-Sumatera yang sebagian besar merupakan penugasan dari Pemerintah dan karenanya ada dana APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), Tol Trans-Jawa dibangun oleh swasta.
"Kenapa kemudian akhirnya menyerahkan pembangunan koridor Tol Trans-Jawa ini kepada swasta, ya karena biaya membangunnya sangat mahal. Salah satu penyebabnya adalah harga tanah yang tinggi," tutur Yayat.
Baca juga: Pemerintah Kaji Kemungkinan Rest Area Jadi Terminal
"Mereka pinjam lho. Kredit triliunan Rupiah, ada bunga juga sekian persen. Mereka berkewajiban untuk mengembalikannya dalam jangka waktu tertentu," tambah Yayat.
Jalan Tol Solo-Ngawi yang dibangun PT Jasamarga Solo Ngawi (JSN), dia mencontohkan, baru bisa break even point (BEP) jika lalu lintas harian rata-rata (LHR)-nya 120.000 kendaraan. Sekarang masih berkutat di angka 10.000 kendaraan.
"Coba berapa tahun lagi itu BEP. Ini bisnis jangka panjang yang tidak menarik lagi jika tarif yang sudah disepakati dan diputuskan, harus disesuaikan lagi," tambah Yayat.
Karena itu, lanjut dia, paradigma masyarakat pengguna jalan tol, baik pribadi maupun logistik, harus bisa melihat, bahwa jalan tol itu adalah memang tentang bisnis.
Meski harus "berdarah-darah" lebih dulu, namun Corporate Finance Group Head PT Jasa Marga Tbk Eka Setya Adrianto tak menampik, bisnis jalan tol adalah salah satu instrumen investasi yang paling menarik. Terutama, bila dilihat dari prospek jangka panjangnya.
"Memang 'berdarah-darah'. Apalagi bila yang diperhatikan adalah aspek arus kasnya. Tapi seperti saya ceritakan, infrastruktur ini nafasnya panjang. Butuh waktu untuk dia menservis debt-nya," kata Eka dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Sebagai contoh, sudah berkali-kali Jasa Marga ditimpa krisis. Seperti tahun 1998, pada saat itu terjadi kerusuhan akibat peralihan dari Orde Baru ke Orde Reformasi.
Krisis yang menimpa Jasa Marga, sebut dia, relatif singkat. Sebab pada akhirnya masyarakat kembali menggunakan kendaraan, baik pribadi maupun transportasi umum, dengan melintasi jalan tol.
"Selama itu terjadi, dari sisi investor itu masih well protected," ujarnya.
Contoh lainnya, pada kuartal ketiga 2018 laba yang diterima perseroan turun. Namun sejak awal hal tersebut telah diprediksi Jasa Marga karena adanya aksi korporasi yang dilakukan sehingga performa laba menjadi lebih ketat.
Ia menambahkan, menjalankan bisnis infrastruktur memang bukanlah sebuah hal yang mudah. Namun dengan perencanaan jangka panjang, Eka meyakini setiap persoalan dapat diatasi.
Baik Eka, Thomas, maupun Yayat sepakat bahwa jalan tol adalah komoditas yang ditransaksikan, bukan sebagai sebuah konsep pelayanan.
"Kalau misalnya jalan tol berbayar, ada standar pelayanannya. Mengajak orang menggunakan jalan tol sama dengan merasionalkan jalan berpikir orang. Jalan tol itu pilihan.
Namun, dengan adanya wacana dan desakan penurunan tarif tol, tak hanya akan sangat mengganggu bisnis jalan tol dalam skup spesifik, melainkan juga dunia investasi secara umum.
Baca juga: Rest Area Tol Trans-Jawa Sudah Seperti Mal-mal di Jakarta
Pasalnya, tarif tol menyangkut beberapa komponen yakni biaya operasional yang bersifat langsung dan tidak langsung.
Biaya operasional yang bersifat langsung adalah terkait pemeliharaan, investasi dalam bentuk pengembalian modal, dan lain-lain. Sementara yang tidak langsung adalah biaya karyawan, sewa kantor, dan lain-lain.
Insentif
Oleh karena itu, Thomas selaku BUJT yang mewakili Astra Infra berharap, kajian penyesuaian tarif tol harus benar-benar dilakukan secara matang dengan mempertimbangkan segala konsekuensinya.
"Sekarang ini masih harus bersabar. Sementara seluruh empat ruas beroperasi dengan baik, trafik akan terus bertumbuh," cetus Thomas.
Alih-alih menurunkan tarif tol, Sekjen Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI) Kris Ade Sudiyono menawarkan solusi saling menguntungkan.
Menurut Kris, pemerintah harus mempelajari dulu aspek bisnis dan investasi jalan tol dalam jangka panjang.
Baca juga: Dalam 3 Tahun Indeks Kecelakaan di Tol Cipali Menurun
"Itu yang harus dipelajari lebih lanjut bagaimana kompensasinya jika tarif tol diturunkan," kata Kris.
Kalau pun pemerintah ambil opsi penurunan tarif tol, lanjut dia, BUJT membutuhkan dukungan lain, yakni insentif pajak. Hal ini bertujuan untuk menggairahkan industri dan bisnis jalan tol agar tetap menarik.
"Minimum ada dua insentif pajak. Pertama adalah perpanjangan waktu untuk melakukan pemanfaatan loss carry tax, yang saat ini berlaku lima tahun. Saya usul 10 tahun," sambung Kris.
Kemudian, insentif yang kedua adalah tax holiday, karena bisnis tol membutuhkan investasi besar dan pemerintah menjadikan Tol Trans-Jawa sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Karena itu, investor dan BUJT mengharapkan ada Undang-undang Perpajakan yang mengatur ini. Bila perlu, ada pembebasan pajak dalam waktu 5 sampai 10 tahun.
"Kalau pemerintah bisa melakukan ini, industri jalan tol akan banyak menarik investor," tuntas Kris.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.