JAKARTA, KOMPAS.com - Pembangunan infrastruktur yang terus digenjot pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dinilai tidak efisien serta tidak mempertimbangkan aspek prioritas kebutuhan masyarakat.
Koordinator Juru Bicara (Jubir) Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Dahnil Anzhar Simanjuntak, mengutarakan hal tersebut kepada Kompas.com, Selasa (6/2/2019).
Menurut dia, banyak infrastruktur yang dibangun justru sifatnya sekunder, seperti di sektor transportasi publik.
Sementara infrastruktur dasar yang menjadi kebutuhan utama masyarakat seperti rumah dan akses terhadap air, kurang mendapat perhatian.
"Infrastruktur yang sebenarnya dalam konteks ini adalah sekunder, tapi kemudian malah dikerjakan. Sebaliknya yang primer tidak dikerjakan. Jadi banyak yang tidak efisien dan misprioritas," kata Dahnil.
Baca juga: Holding BUMN Infrastruktur Siap Garap Proyek Baru
Selain itu, ia juga menyoroti soal penyusunan perencanaan dan pembiayaan proyek infrastruktur yang tidak berbasis pada efisiensi.
Salah satunya proyek Light Rail Transit (LRT) Jabodebek yang digarap PT Adhi Karya (Persero) Tbk.
Alih-alih ingin menghadirkan infrastruktur yang membantu masyarakat pada masa depan, proyek tersebut justru berpotensi menjadi beban ekonomi negara.
"Anda perhatikan bahwa dari Pak JK sebutkan ada kemahalan ada inefisiensi yang luar biasa kemudian misprioritas yang luar biasa," kata Dahnil.
Saat bertemu anggota Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) beberapa waktu lalu, Wapres menyebut pembangunan LRT Jabodebek terlalu mahal, dan kurang efisien karena bersebelahan dengan Jalan Tol Jakarta-Cikampek, maupun Tol Jagorawi.
Baca juga: Beraset Rp 233 Triliun, Holding BUMN Infrastruktur Dinilai Tepat
Kalla menyebut angka untuk ongkos konstruksi mencapai Rp 500 miliar per kilometer. Sementara total investasi pembangunan proyek yang terdiri atas tiga relasi ini sekitar Rp 29,9 triliun.
Tak beda jauh, imbuh Dahnil, hal serupa juga terjadi pada proyek LRT Palembang. Aspek prioritas, kata dia, kurang diperhatikan.
"Sekarang pengelola akui tidak ada penumpang yang menggunakan itu, sedangkan biaya operasionalnya bisa mencapai Rp 10 miliar per bulan. Sementara pendapatannya hanya Rp 1 miliar per bulan. Itu akan menjadi beban serius, akan membebani ekonomi kita. Tidak efisien," cetus Dahnil.