JAKARTA, KOMPAS.com - Proyek infrastruktur yang digarap secara terburu-buru berisiko menimbulkan berbagai problematika saat pelaksanaan maupun setelah beroperasi.
Menurut pengamat infrastruktur Universitas Indonesia Wicaksono Adi, idealnya sebuah proyek infrastruktur seperti jalan, jalan tol, jembatan dan pelabuhan digarap dalam rentang waktu 2-3 tahun.
"Untuk proyek complicated seperti bendung butuh waktu lebih dari tiga tahun," kata Adi kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Ada beberapa kompleksitas yang menyebabkan suatu proyek infrastruktur dapat dikerjakan dengan cepat atau lambat. Mulai dari terbatasnya logistik, sumber daya manusia, hingga pasokan material.
Belum lagi adanya anomali cuaca seperti yang terjadi saat ini. Ia mengatakan, idealnya sebuah proyek infrastruktur dikerjakan pada saat musim kemarau untuk memastikan setiap tahapan yang dilakukan berjalan sesuai dengan petunjuk manual yang telah disusun saat perencanaan.
Baca juga: Tidak Grasa-grusu, Waktu Ideal Rampungkan Infrastruktur 2-3 Tahun
Persoalan timbul ketika adanya dorongan untuk mempercepat pekerjaan guna mengejar tenggat waktu yang ditargetkan.
Sementara pada saat yang sama hujan deras terus mengguyur sehingga membuat kualitas akhir dari proyek yang dikerjakan menjadi kurang maksimal.
Retaknya Jalan Tol Pemalang-Batang dan ambrolnya lereng Tol Salatiga-Kartasura akibat hujan deras, merupakan salah satu contohnya.
Padahal, kedua proyek tersebut belum satu bulan beroperasi setelah diresmikan Presiden Joko Widodo pada 20 Desember lalu.
"Jadi ini istilahnya mau ngebut bisa tapi konsekwensinya di kualitas," kata dia.
Adi menambahkan, infrastruktur yang digarap terburu-buru menimbulkan berbagai risiko, mulai dari usia struktur yang lebih pendek karena tidak digarap sesuai kaidah yang diatur pada panduan manual yang dirancang, serta kualitas yang rendah.
Belum lagi potensi terjadinya kecelakaan kerja saat proyek dikerjakan dan timbulnya korban akibat kerusakan yang timbul setelah beroperasi.
Belum lagi adanya potensi molornya penyelesaian proyek akibat adanya moratorium dari pemerintah untuk mengevaluasi setiap tahapan kinerja proyek.
Rentetan kasus kecelakaan konstruksi yang terjadi pada akhir 2017 hingga awal 2018 merupakan contoh bagaimana pemerintah mengambil langkah tegas untuk mengaudit proyek infrastruktur yang sedang berjalan.
Dalam catatan Kompas.com, mayoritas kasus kecelakaan infrastruktur terjadi pada proyek yang digarap BUMN Karya.
Bahkan, pada proyek yang digarap PT Waskita Karya (Persero) Tbk tercatat ada tujuh kasus kecelakaan.
Kecelakaan tersebut seperti ambruknya tembok parimeter selatan Bandara Soekarno-Hatta yang menjadi bagian proyek Kereta Bandara Soeta setelah dioperasikan pada Februari 2018.
Baca juga: Tol Pemalang-Batang Retak, Waskita Minta Maaf
Akibat peristiwa tersebut satu orang meninggal dunia dan satu orang mengalami luka-luka.
Kemudian, ambruknya bekisting pierhead Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu pada bulan yang sama yang mengakibatkan tujuh orang luka-luka.
Pada 2017, crane proyek LRT Palembang roboh sekitar bulan Agustus yang mengakibatkan beberapa rumah rusak dan sejumlah orang luka-luka.
Lalu, jembatan penyeberangan Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi ambruk akibat tali sling yang belum terpasang sempurna pada September 2017. Satu orang meninggal dunia dan dua orang luka-luka akibat peristiwa tersebut.
Peristiwa lain yakni ambruknya box girder proyek Tol Pasuruan-Probolinggo ambruk Oktober 2017. Akibat peristiwa ini satu orang meninggal dunia dan dua orang luka-luka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.